LEVEL iqra ketiga lebih mendalam, yakni how to understand. Pemahaman dalam level ini sudah memasuki kesadaran emosional, yakni bagaimana menghayati dan merasakan secara emosional kedalaman makna ayat-ayat Al-Qur’an.
Baca Juga: Mengenal Level Iqra Pertama: Kesadaran Sensorial
Baca Juga: Level Iqra Kedua: Kesadaran Memahami, Memikirkan dan Mendalami
كَمَا أَرْسَلْنَا فِيكُمْ رَسُولًا مِنْكُمْ يَتْلُو عَلَيْكُمْ آيَاتِنَا وَيُزَكِّيكُمْ وَيُعَلِّمُكُمُ الكِتَابَ وَالحِكْمَةَ وَيُعَلِّمُكُمْ مَا لَمْ تَكُونُوا تَعْلَمُونَ
“Sebagaimana Kami telah mengutus kepadamu Rasul di antara kalian yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kalian dan menyucikan kalian dan mengajarkan kepada kalian Al-Kitab dan Al-Hikmah, serta mengajarkan kepada kalian apa yang belum kalian ketahui.” (QS Al-Baqarah [2]: 151)
Diharapkan orang-orang yang sudah berada dalam level ini sudah memahami makna isyarah Al-Qur’an secara komperhensif. Bahkan diharapkan bukan saja memahami tetapi sudah mampu merasakan vibrasi energi ayat demi ayat Al-Qur’an.
Di level Iqra ketiga, bukan hanya sang qari mencintai Al-Qur’an, tetapi yang bersangkutan sudah merasakan vibrasi cinta Al-Qur’an di dalam dirinya.
Dengan demikian, antara sang qari dan maqru sudah saling mencintai satu sama lain. Ia merasakan kerinduan mendalam terhadap Al-Qur’an.
Seolah-olah jika sehari tidak membaca Al-Qur’an ada sesuatu yang kurang di dalam dirinya. Cintanya terhadap Al-Qur’an termanifestasi di dalam suasana jiwa, pikiran, dan perilaku sehari-hari.
Bagi orang yang berada di dalam level Iqra ketiga, sudah memiliki kemudahan untuk mengakses sentuhan-sentuhan lembut (latha’if) Al-Qur’an.
Ia seolah-olah merasa ada sosok yang senantiasa membimbing sehingga mampu merasakan makna batin dan spiritual Al-Qur’an.
Pengalaman spiritual yang bersangkutan seperti merasa dibimbing langsung oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam atau Allah subhanallah wa ta’ala secara langsung meletakkan pemahaman di dalam benaknya tentang makna spiritual ayat-ayat yang dibaca.
Dalam tradisi tasawuf inspirasi cerdas yang tiba-tiba muncul di dalam batin disebut ilham. Ayat tersebut di atas mengisyaratkan adanya kemungkinan seseorang mendapatkan “bisikan Ilahi” dalam memahami makna batin Al-Qur’an.
Untuk mendapatkan divine information ini tentu tidak mudah. Diperlukan perjalanan spiritual (suluk) yang tidak singkat dengan ketelatenan upaya sungguh-sungguh (mujahadah) untuk mencapai maqam spiritual ini.
Mungkin orang itu belum memahami persyaratan menjadi seorang mufassir, karena mungkin belum menguasai Bahasa Arab, namun jika Tuhan menghendaki dan berkenan memberikan apresiasi terhadap hamba-Nya yang senantiasa bermunajat untuk memahami rahasia-rahasia-Nya maka tidak ada kesulitan bagi Allah subhanallah wa ta’ala memberikan pemahaman makna ísyarah dan latha’if kepada kekasih-Nya.
Mungkin inilah yang dimaksud Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadis sahihnya,
مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِهَهُ فِي الدِّينِ وَيُلْهِمُهُ رُهْدَهُ
“Barangsiapa yang dikehendaki Allah dengan kebaikan maka Allah menjadikannya ia pandai mengenai agama dan ia diilhami petunjuknya.” (HR. Muttafaq ‘alaihi).
Yang pasti ialah siapapun yang akan mengakses Iqra ketiga ia harus berada dalam suasana lahir-batin yang bersih dan dalam suasana cinta (mahabbah/in-loving).
Suasana batin seperti inilah yang akan mengundang keajaiban. Perhatikan ayat di atas, untuk mendapatkan bimbingan langsung dari rasul-Nya terlebih dahulu harus berada dalam kesucian (tazkiyah).
Setelah itu baru bisa sebelum meningkat ke proses pendalaman (taʼlim). Dengan kata lain, proses tazkiyah. Ta’lim terlebih dahulu harus melakukan proses tazkiyah.
Banyak cara Tuhan menurunkan ilham kepada hambanya. Bisa dalam bentuk deduksi akal yang sangat cerdas dan cepat, bisa juga dalam bentuk mimpi-mimpi.
Seperti kita tahu, mimpi itu bermacam-macam, ada mimpi dalam bentuk hilm, manamat ru’yah, waqi’iyyah, dan mukasyafah.
Pengalaman spiritual para orang terdekat Tuhan (auliya’) banyak sekali mendapatkan pelajaran dari guru-guru yang tidak berwujud (impersonal teachers).
Ada yang diajar langsung oleh Rasulullah Saw, seperti pengalaman mistis Imam Al-Gazali dan Ibn ‘Arabi. Jika kita membaca biografi intelektual para mufassir tersohor (mu’tabarah), sebagian di antaranya mendapatkan pelajaran (insight) dari hal-hal yang di luar kerja-kerja akal (la majala li al aql).
Wallahu A’lam Bishshowab
Pemateri: Slamet Setiawan, S.H.I