ChanelMuslim.com – Hukum Asal Nikah adalah Poligami, Benarkah?
Poligami kerap menjadi perbincangan yang tidak pernah habis. Pro kontra selalu mengiringi perbincangan itu. Namun, ada yang menarik dari sekian perbincangan itu. Yaitu, benarkah hukum asal nikah yang Allah perintahkan adalah dalam bentuk poligami.
Hal ini merujuk pada firman Allah subhanahu wata’ala dalam Surah Annisa ayat 3.
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَىٰ فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَلَّا تَعُولُوا
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.
Baca Juga: Suami Poligami Tapi Tak Mampu secara Ekonomi
Hukum Asal Nikah adalah Poligami, Benarkah?
Sebagian kalangan menilai ayat ini memerintahkan untuk menikahi wanita langsung dalam jumlah dua, tiga, atau empat. Tidak disebutkan satu. Sehingga kalangan tersebut menafsirkannya bahwa hukum asal perintah menikah adalah langsung pada jumlah dua, tiga, empat. Atau perintah menikah dalam bentuk poligami.
Namun, sebagian yang lain tidak memahami ayat itu dengan tafsiran seperti itu. Ada sejumlah alasan dan pendapat.
Pertama, seperti yang pernah disampaikan Ustaz Tengku Zulkarnain dalam tayangan di channel YouTubenya. Dalam sebuah ceramah, Ustaz Zulkarnain menjelaskan bahwa poligami itu tidak dimaknai sebagai sunnah Nabi saw.
Karena sejarah mencatat bahwa selama Nabi saw. hidup bersama istri beliau, Khadijah r.a., selama itu pula Nabi saw. tidak berpoligami. Kurang lebih selama 27 tahun rumah tangga itu melalui bahteranya, hanya ada Nabi saw. dan Khadijah sebagai istri. Tidak ada istri lain selain Khadijah.
Padahal, usia Khadijah dengan Nabi saw. berbeda kurang lebih 15 tahun. Artinya, ketika Nabi saw. berusia 50 tahun, usia Khadijah sudah 65 tahun. Menariknya, Khadijah wafat saat dalam pembaringan dengan posisi kepala di atas pangkuan Nabi saw. Betapa romantisnya.
Baru setelah Khadijah wafat, Allah subhanahu wata’ala memerintahkan Nabi saw. untuk menikah lagi. Dan kemudian baru dikenal dalam sejarah Rasulullah saw. melakukan poligami.
Jumhur ulama pun menilai bahwa menikah itu hukumnya mubah. Kalau menikahnya saja mubah, bagaimana mungkin poligaminya bisa dinilai sunnah.
Syaikh Musthafa al-Adawi mengatakan :
فأقول؛ إن التأصيل من أصل أن الأصل التعدد بناءً على قوله تعالى{ فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ} [ النساء:3] تأصيلٌ خطأ ، تأصيلٌ خطأ
Saya katakan, pendapat yang menyatakan bahwa penentuan hukum asal (nikah) itu poligami dengan dalil: maka nikahilah 2, 3, atau 4, maka ini adalah penentuan hukum asal yang keliru, penentuan hukum asal yang tidak benar.
Jika ada yang mengklaim bahwa ini pendapatnya al-Allamah Ibnu Bâz, maka saya jawab, hendaknya anda ketika menukilkannya pun juga harus lengkap.
Bukankah beliau rahimahullâhu mengatakan:
الأصل في ذلك شرعية التعدد لمن استطاع ذلك ولم يخف الجور
Secara asal hukum menikah itu disyari’atkan berpoligami bagi mereka yang mampu melakukannya dan tidak khawatir berbuat kezhaliman (tidak adil).
Persyaratan bagi mereka yang mampu dan tidak khawatir berbuat kezhaliman, wajib disebutkan dan tidak boleh dipotong.
Pendapat yang mu’tabar, dan banyak ditemui di kitab-kitab fikih klasik adalah mencukupkan dengan satu isteri itulah yang asal dan lebih utama. Dan hukum asal poligami itu mubah, namun terkadang bisa menjadi wajib, sunnah, makruh bahkan haram.
Hukum Poligami
Hukum asal poligami dalam Islam berkisar antara ibaahah (mubah/boleh dilakukan dan boleh tidak) atau istihbaab (dianjurkan).
Adapun makna perintah dalam firman Allah Ta’ala,
{وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ}
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat” (QS an-Nisaa’:3).
Perintah Allah dalam ayat ini tidak menunjukkan wajibnya poligami, karena perintah tersebut dipalingkan dengan kelanjutan ayat ini, yaitu firman-Nya,
{فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا}
“Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya” (QS an-Nisaa’:3).
Maka dengan kelanjutan ayat ini, jelaslah bahwa ayat di atas meskipun berbentuk perintah, akan tetapi maknanya adalah larangan, yaitu larangan menikahi lebih dari satu wanita jika dikhawatirkan tidak dapat berbuat adil, atau maknanya, “Janganlah kamu menikahi kecuali wanita yang kamu senangi”.
Ini seperti makna yang ditunjukkan dalam firman-Nya,
{وَقُلِ الْحَقُّ مِنْ رَبِّكُمْ فَمَنْ شَاءَ فَلْيُؤْمِنْ وَمَنْ شَاءَ فَلْيَكْفُرْ}
“Dan katakanlah:”Kebenaran itu datangnya dari Rabbmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir” (QS al-Kahfi:29). Maka tentu saja makna ayat ini adalah larangan melakukan perbuatan kafir dan bukan perintah untuk melakukannya.
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Abdulah bin Baz ketika ditanya, “Apakah poligami dalam Islam hukumya mubah (boleh) atau dianjurkan?” Beliau menjawab rahimahullah, “Poligami (hukumnya) disunnahkan (dianjurkan) bagi yang mampu, karena firman Allah Ta’ala (beliau menyabutkan ayat tersebut di atas), dan karena perbuatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahi sembilan orang wanita, Allah memberi manfaat (besar) bagi umat ini dengan (keberadaan) para istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut, dan ini (menikahi sembilan orang wanita) termasuk kekhususan bagi beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Adapun selain beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak boleh menikahi lebih dari empat orang wanita. Karena dalam poligami banyak terdapat kemslahatan/kebaikan yang agung bagi kaum laki-laki maupun perempuan, bahkan bagi seluruh umat Islam. Sebab dengan poligami akan memudahkan bagi laki-laki maupun perempuan untuk menundukkan pandangan, menjaga kemaluan (kesucian), memperbanyak (jumlah) keturunan, dan (memudahkan) bagi laki-laki untuk memimpin beberapa orang wanita dan membimbing mereka kepada kebaikan, serta menjaga mereka dari sebab-sebab keburukan dan penyimpangan.
Adapun bagi yang tidak mampu melakukan itu dan khawatir berbuat tidak adil, maka cukuplah dia menikahi seorang wanita (saja), karena Allah Ta’ala berfirman,
{فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا}
“Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya” (QS an-Nisaa’:3). (Sumber: https://muslim.or.id/1916-poligami-bukti-keadilan-hukum-allah.html)
Semoga Allah (senantiasa) memberi taufik-Nya kepada semua kaum muslimin untuk kebaikan dan keselamatan mereka di dunia dan akhirat. (Mh)