ISLAM mengajarkan agar apa yang ada di dalam hati, lisan dan tindakan bekerja beriringan. Saat berbicara, menasihati dan mengajak seseorang pada suatu kebaikan tanpa mengerjakannya banyak menjadi penyakit para dai saat ini. Al-Quran telah memberi peringatan kepada mereka dalam surah Ash-Shaffa ayat 2-3:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ (2) كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ (3)
“Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (QS. Ash Shaff: 2-3)
Baca Juga: Jangan Menilai Seseorang hanya dari Kepandaian Berbicara
Ash Shaff Ayat 2 dan 3, Hanya Berbicara Tanpa Mengerjakannya
Penjelasan:
Ayat ini sebagai bentuk pengingkaran terhadap orang-orang yang menetapkan suatu janji atau mengucapkan suatu ucapan akan tetapi dia tidak menepatinya.
Oleh karena itu sebagian ulama salaf menjadikan ayat yang mulia ini sebagai landasan wajibnya menepati janji secara mutlak, baik janji itu harus dilaksanakan atau tidak oleh orang yang menetapkan janji tersebut.
Mereka juga beralasan dengan hadis yang disebut dalam shahih Bukhari dan Muslim bahwasanya Rasulullah pernah bersabda, “Tanda-tanda orang munafik ada tiga: Apabila dia berjanji dia ingkar, apabila dia berbicara niscaya dia berdusta, dan apabila dia dipercaya niscaya ia berkhianat.”
Di dalam hadis lain yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim juga disebutkan, “Ada empat perkara yang barangsiapa keempat perkara tersebut ada pada dirinya maka ia termasuk munafik murni dan barang siapa yang ada pada dirinya salah satu dari dari keempat ciri tersebut, maka ia termasuk orang yang munafik sehingga ia meninggalkannya.”
Kemudian beliau menyebut ciri-ciri tersebut diantaranya adalah menyelisihi janji, oleh karena itu Allah menegaskan pengingkaran-Nya kepada mereka didalam firman-Nya, “Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.”
Ada juga yang mengatakan bahwa sebabnya turun ayat ini adalah sekelompok kaum muslimin sebelum diturunkan kewajiban jihad mereka berkata, “Seandainya kami mengetahui amalan yang paling dicintai Allah pasti kami mengamalkannya.”
Lalu Allah menunjukkan kepada mereka sebaik-baik amalan yang dicintai-Nya. Dia berfirman, “Sesungguhnya Allah menyukai orang yang berperang dijalan-Nya dalam barisan yang terartur.”
Allah menjelaskan kepada mereka dengan menguji mereka melalui perang Uhud, namun mereka justru meninggalkan Nabi dan berpaling darinya, maka Allah menurunkan ayat,
“Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? “ Dia berkata, “Orang yang paling aku cintai di antara kalian adalah yang berperang di jalan-Ku.”
Sebagian ahli tafsir mengatakan surat-surat ini diturunkan berkaitan dengan perang. Ada seseorang yang berkata, “Aku telah perang,” padahal sebenarnya dia belum berperang.
“Aku telah menikam,” padahal sebenarnya dia belum menikam, “Aku telah memukul,” sebenarnya dia belum memukul dan, “Aku telah bersabar,” padahal sebenarnya ia belum bersabar, demikian dijelaskan dalam tafsir Ibnu Katsir.
Adapun pelajaran yang bisa dipetik dari ayat ini adalah:
1. Yang berucap berkewajiban menyesuaikan tindakannya dengan ucapan, jika tidak ia terancam dengan murka Tuhan.
2. Bila menyuruh orang lain berbuat baik, apabila kebaikan itu belum dikerjakan oleh yang menyuruh, maka paling sedikit ia harus menyuruh pula dirinya dengan menancapkan niat untuk melakukannya.
Bukanlah syarat bagi yang menganjurkannya untuk melaksanakan terlebih dahulu anjurannya, walau sangat baik melaksanakannya terlebih dahulu. Demikian ditulis oleh Prof. Quraish Shihab dalam tafsir Al-Lubab.
Nabi Syuaib berkata kepada kaumnya, “Dan aku tidak berkehendak menyalahi kamu (dengan mengerjakan) apa yang aku larang.” (QS. Hud: 88)
Surat As Shaf ayat 2-3, janganlah dijadikan alasan untuk melarikan diri dari jalan dakwah dengan alasan belum sempurnanya diri seorang pendakwah, karena andai seorang pendakwah menunggu sempurna baru dia akan berdakwah, maka yang terjadi dia tidak akan berdakwah sampai wafat.
Lihatlah Nabi Muhammad saw tetap berdakwah walau pamannya enggan mengikuti risalahnya; Nabi Nuh tetap istiqomah dijalan dakwah walau anaknya enggan beriman kepadanya dan begitu juga dengan nabi Luth, ia tetap berdakwah walau istrinya tidak mau bersamanya meniti jalan dakwah, lalu Nabi Ibrahim ia menyeru kaumnya untuk beriman kepada Allah walau ayahnya tetap membuat patung.
Namun ayat ini hendaknya dijadikan semangat untuk memperbaiki diri, sebab dengan berdakwah insya Allah diri ini akan menjadi lebih baik, karena telinga seorang juru dakwah lebih dekat dari mereka yang akan didakwahi.
Dalam bait sya’ir disebutkan,
لئن لم يعظ العاصين من هو مذنب … فمن يعظ العاصين بعد محمد
“Jika orang yang berbuat dosa tidak boleh memberi nasihat pada yang berbuat maksiat, maka siapa tah lagi yang boleh memberikan nasihat setelah (Nabi) Muhammad (wafat)?”
Diringkasi dari tulisan Ustaz Faisal Kunhi M.A berjudul ‘Jangan Hanya Pandai Menasihati’
[Ln]