PACARAN sudah seperti menjadi tren di kalangan remaja perkotaan. Sejumlah logika keliru pun dikembangkan.
Ada upaya sistematis dari pihak sekuler untuk melazimkan budaya pacaran. Hal ini agar generasi muda menganggap biasa pacaran. Bahkan boleh jadi, mereka yang tidak pacaran menjadi terkucilkan.
Logika-logika berikut ini sepertinya ditumbuhsuburkan. Seolah, pacaran memberikan manfaat luar biasa untuk kehidupan muda-mudi saat ini.
Satu, pacaran mendewasakan muda-mudi.
Daya tarik lawan jenis sudah tumbuh sejak usia balig. Ada yang sejak usia SD, SMP, bahkan usia sebelumnya.
Sebagian orang menganggap perlu pacaran. Hal ini dimaksudkan agar remaja pria dan wanita memahami tentang lawan jenis mereka. Sehingga proses pendewasaan menjadi normal.
Masalahnya, kalau secara naluriah pria dan wanita memiliki ketertarikan, norma apa yang menghalangi satu sama lain untuk tidak saling ‘coba-coba’.
Hal ini karena ‘coba-coba’ bisa berakibat fatal. Khususnya untuk remaja putri.
Dua, pacaran bisa mematangkan saling kecocokan.
Ada semacam kewajaran di kalangan lajang bahwa pacaran bisa mematangkan kecocokan satu sama lain. Sebelum memasuki jenjang pernikahan, keduanya saling mencari kecocokan melalui pacaran. Hal dimaksudkan agar pernikahan tidak mengalami kegagalan.
Masalahnya, kecocokan seperti apa yang dimaksudkan. Selain itu, pacaran tidak menentukan berapa lama proses saling cocok yang ideal.
Akibatnya, proses pacaran menjadi unlimited alias tanpa batas waktu. Batasnya kalau keduanya siap memasuki jenjang pernikahan. Jadi, batasnya kesiapan, bukan waktu. Padahal kesiapan dan kecocokan menjadi sangat relatif dan fleksibel.
Tiga, pacaran menyehatkan fisik dan jiwa.
Remaja yang hidup sendiri cenderung fatalis, emosional, tanpa semangat, dan lainnya. Karena itu, pacaran seolah menjadi solusi mengatasi masalah gejolak remaja seperti ini.
Hal ini karena dengan pacaran, dua remaja bisa saling berbagi pemikiran, curhat, dan saling menguatkan semangat dan pemahaman.
Dalam hal ini, ada ketidaksingkronan antara hasil yang diharapkan dengan proses yang dilakukan. Kalau yang dibutuhkan semangat dan pemahaman, solusi yang dibutuhkan adalah penyadaran dan diskusi intensif. Dan itu bisa didapat dari mentor atau senior yang lebih berpengalaman.
Sementara pacaran tidak masuk pada area penyadaran dan pemahaman. Karena keduanya lebih cenderung saling tertarik pada pemuasan daya tarik lawan jenis, bukan yang lain.
Empat, pacaran bisa mematangkan proses pernikahan.
Jangan beli kucing dalam karung. Begitulah yang ada dalam logika untungnya proses pacaran sebelum jenjang pernikahan.
Dengan logika ini seolah menguatkan kesimpulan bahwa perceraian terjadi karena pasangan belum matang dalam perkenalan.
Masalahnya, kalau pacaran bisa ‘membuka’ semua rahasia calon pasangan, maka buat apa lagi adanya pernikahan?
Padahal, pernikahan itu ‘awal’ interaksi pasangan, bukan akhir yang lazim dalam logika proses pacaran. Karena sudah saling puas ‘coba-coba’, maka legalitasnya melalui pernikahan.
Kalau sudah saling puas ‘coba-coba’ dalam pacaran, lalu kegiatan apa lagi yang ingin didapat dari pernikahan.
Justru, ikatan pernikahan menjadi sangat rentan karena keduanya sudah saling ‘coba-coba’ melalui proses pacaran.
Lima, mana lebih dulu: pacaran baru jodohan, atau jodohan baru pacaran.
Logika ini menunjukkan bahwa pernikahan bukan sesuatu yang sakral. Justru sakralnya ada pada pacaran. Karena pernikahan dalam hal ini seolah hanya sebagai legitimasi dari cinta-cintaan di masa pacaran.
Logika ini juga menakut-nakuti siapa pun bahwa ikatan pernikahan itu seperti ‘jebakan’ atau perangkap yang kalau sudah terlanjur sulit ‘balik badan’.
Padahal, pernikahan itu menjadikan hubungan pria dan wanita di atas tanggung jawab. Bukan ‘survei’ atau ‘coba-coba’ seperti yang terjadi pada pacaran.
Selain interaksi pria dan wanita menjadi sah dan bertanggung jawab, pernikahan juga menyiapkan pria dan wanita memasuki fase hidup berikutnya: sebagai ayah atau ibu. Bukan seperti pacaran yang hanya berkutat pada fase itu-itu saja. [Mh]