ChanelMuslim.com – Persimpangan fitrah yang bernama ibu dan dengungan childfree. Struktur tubuh perempuan diciptakan untuk sebuah arti kelembutan. Sebagaimana setiap sudut rengkuhan ibu adalah kenyamanan bagi anggota keluarga.
Begitu pula hormon estrogen membuat suara perempuan meninggi ketika ia beranjak dewasa, berbeda dengan laki-laki yang suaranya memberat.
Baca Juga: Tiga Karakter Ibu Masa Kini yang Perlu Kamu Ketahui
Persimpangan Fitrah yang Bernama Ibu dan Dengungan Childfree
Oleh: Wulan Saroso (Pegiat Parenting)
Intonasi pada suara perempuan ini menghasilkan keunikan interaksi antara ibu dan anak. Kecerewetan ibu merupakan bagian dari pengasuhan yang menggariskan kenangan di kehidupan anak manusia.
“Empat alasan yang membuat aku sabar dan lembut menghadapi istriku,” jawab Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu, sang al Faruq, ketika seorang laki-laki mengeluhkan kejengkelannya pada kecerewetan istrinya.
“Pertama, dialah yang memasak makananku. Kedua, dialah yang membuat, mengadoni dan memasakkan rotiku. Ketiga, dialah yang mencucikan pakaianku. Dan keempat, dialah yang menyusui anak anakku.”
Rahim juga merupakan simbol kekokohan. Sebagaimana Allah al Khaliq menggambarkannya sebagai ‘qararun makin’ atau tempat yang kokoh, maka perempuan pun diciptakan untuk sebuah makna kedamaian.
Dalam kisah perjalanan dari peraduannya di ovarium, sel telur yang telah dibuahi oleh sel sperma mencari tempat terbaik untuknya menginduk lalu tumbuh dan berkembang.
Sel yang tak mempunyai kesadaran layaknya manusia, tapi seakan mengetahui jalan mana yang harus ia tempuh untuk menemukan tempat paling kuat.
Dan tempat yang terbaik dan kokoh adalah di dinding rahim. Maka nutfah yang mulanya tak berjejak, mengokohkan jejaringnya di sana hingga berwujud ‘alaqah’ yang semakin membesar menjadi janin dan terlahir sebagai anak manusia.
Tak ada satupun makhluq punya kuasa atas apa yang terjadi di dalam rahim. Perlindungannya yang kokoh, mengizinkan setiap sel nutfah membelah tanpa pernah salah.
Bahkan sang ibu pemilik rahim pun tak punya kehendak atas apa yang terjadi. Janin pun berdetak, bernafas, makan, mendengar hingga sembilan bulan lamanya, dalam kedamaian yang begitu kokoh.
Baca Juga: Feminist Thought Menguak Pengusung Persetujuan Seksual
Naif dan Brutal bila Menafikan Perbedaan Laki dan Perempuan
Maka adalah naif dan sebuah bentuk kebrutalan peradaban bila para feminis, pelaku LGBT dan para pendukungnya menafikan perbedaan laki-laki dan perempuan.
Mereka berteriak bahwa perbedaan itu hanya terletak di bentuk dan wujud alat kelamin yang menempel pada tubuh laki-laki dan perempuan, selebihnya setiap perilaku dan budaya bisa direkayasa sekehendak nafsu manusia.
Bila perempuan bosan dengan keperempuanannya, maka dia pun bebas memilih untuk menjadi laki-laki. Karena bagi mereka, jenis kelamin tidak identik dengan perilaku atau menunjuk pada stereotype tertentu.
Para feminis menggaungkan bahwa perempuan semakin terpuruk derajatnya bila mengagungkan peran rahim.
Karena perempuan akan berkutat pada peran melahirkan, menyusui, pengasuhan anak, pendidikan dan pekerjaan yang dilakukan di sekitar rumah.
Tugas keibuan dianggap sebagai pekerjaan tidak produktif dan mendomestikkan perempuan.
Simone de Beauvoir, seorang perempuan pengikut filsafat eksistensialisme menggambarkan pada tulisannya yang berjudul “The Second Sex”.
Dia menekankan bahwa bila perempuan ingin menentukan identitas dirinya sendiri maka ia harus terlepas dari pengaruh alam, dalam hal ini adalah pengaruh kodrati yang diciptakan melekat pada unsur biologis perempuan.
Karena bila perempuan meyakini dan menikmati peran keibuan sebagai wujud keberadaan rahim pada tubuhnya, ini berdampak pada perempuan tidak akan mampu menjamah peran-peran sosial yang biasa didominasi oleh laki-laki.
Bagi mereka, organ reproduksi tidak menyebabkan adanya diferensiasi peran antara laki-laki dan perempuan, melainkan lebih disebabkan faktor budaya.
Baca Juga: Merajut Mimpi vs Skill Seorang Ibu
Ideologi Feminis
Ideologi feminis ini merasuki agenda pembangunan di seluruh negara di dunia.
Sejak 1995, UNDP menambahkan konsep kesetaraan gender melalui perhitungan Gender Development Index (GDI) dan Gender Empowerment Measure (GEM) dalam perhitungan Human Development Index (HDI) di setiap laporan berkalanya berupa Human Development Report (HDR).
Acuan kesetaraan 50/50 yang merupakan ‘perfect equality’ yang angkanya 1 di dalam GDI dan GEM berdampak pada gerakan pengarusutamaan gender (gender mainstreaming) yang semakin mengecilkan dan melemahkan peran keibuan.
Propaganda yang dilakukan melalui sistem negara bahwa bagi perempuan pekerjaan melahirkan, menyusui, mengasuh, mendidik anak, mengurus keluarga dan rumah tangga hanya akan membuat mereka menjadi masyarakat kelas dua sehingga perlahan perempuan pun meninggalkan fitrah keibuannya.
Hal ini terlihat dari tren semakin menurunnya jumlah kelahiran di dunia pada umumnya dan di Indonesia pada khususnya.
Jepang adalah contoh negara yang hampir kehilangan pertumbuhan penduduk usia muda karena tren jumlah kelahiran yang menukik ke bawah.
Beberapa tahun terakhir, pertumbuhan ekonomi negara itu 0%, karena semakin sedikitnya jumlah usia produktif yang mampu berkarya.
Perempuan di Jepang nyaris tidak ingin menikah dan mempunyai anak. Kalaupun ada, mereka secara pribadi membatasi diri hanya mempunyai satu anak sebagai penerus keturunan.
Diperkirakan, 100 tahun lagi, bangsa Jepang akan punah dari muka bumi bila tren tersebut bertahan.
Sementara di Indonesia, pada tahun 2035 diperkirakan akan mengalami ‘aging demografi’ di mana populasi usia di atas 60 tahun semakin meningkat sementara usia anak menurun lalu diikuti usia produktif.
Dan pada tahun 2045, Indonesia akan mengalami masa ‘aging population’ seperti yang terjadi di Jepang saat ini.
Di satu sisi, hal ini bisa dianggap sebagai upaya motivasi untuk memacu Indonesia dengan besarnya usia produktif saat ini yang merupakan hasil bonus demografi di akhir tahun 1990-an dan awal 2000-an mewujudkan Indonesia sebagai negara maju.
Namun perlu diperhatikan bahwa kemajuan dan kesejahteraan tidak hanya identik dengan pembangunan fisik dan ukuran pertumbuhan yang dinilai dengan angka-angka.
Baca Juga: Resensi Buku Fitrah Based Education
Dengungan Childfree dan Fitrah Keibuan
Tren jumlah kelahiran yang menurun, rentan mengakibatkan rapuhnya kekuatan bangsa ini, di samping gerusan modernisasi globalisasi yang terus menghantam kepribadian generasi muda.
Hal ini wujud nyata dari semakin lemahnya fitrah keibuan baik secara individu maupun secara sosial di negara ini.
Hakikat penciptaan manusia, Allah tidak membedakan peran umum antara laki-laki dan perempuan. Apalagi bila dikaitkan dengan kemampuan intelektual.
Banyak penelitian dan kajian ilmiah yang sudah membuktikan bahwa kecerdasan laki-laki dan perempuan adalah kemampuan universal.
Namun selain peran umum, manusia memiliki peran khusus yang terikat pada penciptaan biologisnya.
Saphiro (1990) dalam kajiannya mendapatkan fakta bahwa hormon reproduksi perempuan, terutama estrogen, ternyata berpengaruh pada perkembangan otak perempuan.
Kemampuan bahasa dan kemampuan lain pada perempuan ternyata lebih tersebar merata antara bagian otak kiri dan kanan sedangkan fungsi tersebut pada lak-laki lebih terkonsentrasi pada bagian otak kiri.
Maka peran feminin bukanlah merupakan hal yang tabu dan merendahkan posisi perempuan, justru meninggikan derajat perempuan.
Keibuan adalah sifat milik perempuan. Sebagaimana rahim diciptakan pada tubuhnya. Sebuah harkat kodrati dan bukan konstruksi budaya.
Fitrah yang diberikan untuk menjaga kelangsungan manusia dan alam semesta. Memaksa perempuan keluar dari kodratnya, artinya merusak jiwa perempuan dan sekaligus merusak tatanan masyarakat dan dunia.
Namun pada kenyataannya di dunia yang semakin renta ini, rekayasa global perusakan tatanan sosial sudah merambah di setiap aspek kehidupan. Dan pada kenyataannya Indonesia sudah menjadi bagian dari agenda ini.
Fitrah itu bernama ibu. Sifat keibuan yang ada pada diri perempuan, seyogyanya melingkupi dunia ini dengan kelembutan dan kedamaian. Setiap manusia terlahir dari rahim.
Maka penghormatan terbaik bagi setiap perempuan di dunia ini adalah tanggung jawab para lelali yang diberi amanah sebagai ‘qowwam’ atau pemimpin.
Permasalahan multidimensi yang berlarut-larut di bangsa ini di antaranya karena anak-anak bangsa semakin kehilangan sentuhan keibuan.
Perempuan tak lagi bangga dengan fitrah feminin keibuan. Anak-anak pun kehilangan rengkuhan kehangatan dan ketenangan pelukan ibu.
Baca Juga: Kisah Nabi Musa Kembali Disusui oleh Ibunya (2)
Mengembalikan Fitrah Keibuan
Mengembalikan fitrah keibuan kepada para perempuan, adalah cara kita menyelamatkan masa depan peradaban bangsa.
Setiap bulir darahku adalah tetesan perjuangan ibu
Setiap jejak nafasku adalah helaan kekuatan jiwa ibu
Setiap percik rasaku adalah sentuhan cita ibu
Setiap detak pikirku adalah tingginya kearifan ibu
Jangan biarkan kami menjadi manusia yang kehilangan fitrah ibu.[ind]
sumber: https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=3160876657532007&id=100008291117772