SEBELUM Indonesia merdeka, kita mengalami masa-masa penjajahan yang begitu memerihkan. Bangsa Portugis, Inggris, Belanda, dan Jepang silih berganti datang ke Indonesia.
Dengan dalih berdagang, mereka datang untuk mengeruk kekayaan Indonesia.
Perjuangan-perjuangan para pahlawan dituliskan dalam sejarah agar kita senantiasa mengenal pahlawan Indonesia.
Baca juga: 134 Pahlawan Indonesia Beragama Islam, Mari Kenali Beberapa
Mengenal Pahlawan Indonesia, Muhammad Natsir
77 tahun sudah kemerdekaan Indonesia di proklamasikan. Agar anak-anak tidak kehilangan akar sejarahnya ada baiknya Ayah Bunda mengenalkan mereka pada sejarah bangsanya.
Ada banyak peristiwa dan tokoh yang bisa kita jadikan pelajaran bagaimana para pendahulu kita berjuang mempertahankan tanah air. Salah satunya adalah dengan mengenalkan pahlawan nasional, Muhammad Natsir.
Muhammad Natsir hampir saja tertelan masa dan tidak muncul dalam khazanah sejarah perjuangan bangsa kita. Hingga akhirnya ia dianugerahi gelar sebagai Pahlawan Nasional pada tahun 2008.
Muhammad Natsir adalah salah satu tokoh Islam yang hingga akhir hidupnya tetap berprinsip bahwa Negara harus berdasarkan asas islam.
Diyakini oleh Natsir, Islam merupakan agama yang mengutamakan nalar alias akal sehat dalam pengamalan setiap ajarannya.
Maka itu, baginya, bukan hal yang salah jika Islam turut berperan dalam membangun bangsa melalui pemerintahan. Bahkan, Natsir punya alasan kuat untuk mendudukkan Islam sebagai dasar negara Republik Indonesia.
Muhammad Natsir kecil dulunya lahir di sebuah rumah yang besar yang terletak di dekat Jembatan Berukir, Alahan Panjang 17 Juli 1908.
Saat menetap di Alahan Panjang karena menjadi pegawai Belanda di pemerintahan setingkat kecamatan di Alahan Panjang, Ayah M. Natsir, Mohamad Idris Sutan Saripado tinggal di rumah seorang saudagar kopi kaya di Alahan Panjang, Sutan Rajo Ameh.
Di rumah besar itu, Keluarga Sutan Rajo Ameh bersama istrinya Siti Zahara dan anak-anaknya tinggal di bagian kiri rumah.
Sementara ayah Mohammad Idrus Saripado dan Istrinya Khadijah bersama anaknya menempati rumah bagian kanan.
Sewaktu kecil ini Pak Natsir orangnya lugu, jujur dan punya sifat yang sejak kecil sudah kelihatan akan jadi pemimpin, selain itu Natsir juga suka dengan segala hal yang rapi, merapikan kamar tidurnya, dan suka membantu mencuci piring.
Seperti umumnya anak lelaki Minang pada masa itu, Natsir kecil juga ke surau, belajar mengaji. Surau itu tidak jauh dari rumahnya, di depan lapangan.
Namanya Surau Dagang yang didirikan oleh pedagang dari nagari-nagari di sekitar Alahan Panjang. Pedagang ini berjualan tiap pekan di Pasar Perserikatan Alahan Panjang tak jauh dari surau itu.
Surau itu dulunya dari kayu, lantainya bambu dan atapnya dari daun rumbia, kini sudah berubah menjadi Masjid Al Wusta.
Tidak banyak yang tahu tentang masa kecil Natsir di Alahan Panjang, karena orang-orang segenerasi dengan Natsir apalagi generasi di atas Natsir sudah tidak ada lagi.
Apalagi Natsir tinggal di Alahan Panjang hanya pada masa sebelum masuk Sekolah Rakyat (SR) di Kota Solok.
Masa kecil Natsir dihabiskan di berbagai tempat mengikuti ayahnya yang bekerja sebagai pegawai Kolonial Belanda.
Setelah dari Alahan Panjang, Natsir sempat tinggal di Maninjau dan bersekolah hingga kelas dua. Kemudian pindah ke Padang, untuk bersekolah di HIS Adabiyah.
Besar dalam nuansa pergerakan, Natsir pun tidak ingin ketinggalan terlibat di dalamnya. Tahun 1923, ia bergabung dengan Jong Islamieten Bond (JIB) dan Jong Sumatranij Bond (JSB).
Di sinilah ia mulai bersinggungan dengan para pemuda pergerakan nasional asal Sumatera Barat yang kelak bersama-sama menopang berdirinya RI, termasuk Mohammad Yamin dan Bahder Johan.
Natsir kemudian melanjutkan studinya ke Bandung, tepatnya di Algemeene Middelbare School (AMS). Di sinilah pemikirannya tentang agama dan nasionalisme berkembang pesat.
Ia berhubungan baik dan kerap bertukar pikiran dengan tokoh-tokoh Islam terkemuka macam Agus Salim, Ahmad Hassan, dan lainya.
Latar belakang Islam yang kuat tidak membuat Natsir alergi dengan modernitas, bahkan yang kental beraroma Barat sekalipun. Justru sebaliknya, jika umat Islam di Indonesia ingin maju, maka pendidikan adalah kunci utamanya.
“Maju atau mundurnya salah satu kaum bergantung pada pengajaran dan pendidikan yang berlaku di dalam kalangan mereka itu. Tak ada satu pun bangsa terbelakang menjadi maju, melainkan sesudahnya melalukan dan memperbaiki pendidikan anak-anak dan pemuda-pemuda mereka,” sebut Natsir (1961: 51).
Di masa pasca kemerdekaan Natsir dianggap “memberontak” oleh kepemimipinan Soekarno. Kemudian juga dianggap sebagai “musuh” oleh rezim Orde Baru. Beliau dikaruniai umur panjang.
Ia meninggal dunia di Jakarta tanggal 6 Februari 1993 dalam usia 84 tahun dengan tetap memegang teguh prinsipnya tentang Islam dan nasionalisme kendati tidak pernah direstui negara.
Begitulah dikisahkan sejarah seorang pahlawan Indonesia bernama Muhammad Natsir, sosok pahlawan Islam di Indonesia yang menginspirasi untuk mengenal pahlawan Indonesia yang semakin hilang sejarahnya seiring berkembangnya zaman. [MRR]
Sumber:
– Bulanbintang.wordpress
– Tirto,Id