TAHUN ini, anak saya mengikuti kelompok bermain di jidoukan, fasilitas tempat bermain anak di Jepang yang sama. Pendaftaran dimulai pada bulan April lalu, sama dengan pendaftaran untuk masuk youchien (TK).
Oleh: Hifizah Nur, S.Psi., M.Ed. (Ketua Hikari Parenting School)
Kelompok bermain ini dibagi dalam empat grup, yaitu grup kuma (beruang), panda, zoo (gajah) dan usagi (kelinci). Setiap grup beranggotakan 10-12 anak dengan 9 orang tua. Anak saya tergabung dalam grup kuma, sama seperti tahun lalu. Masing-masing grup memiliki satu orang leader yang membantu leader umum menjalankan program-program dalam kelompok bermain ini.
Ada semacam touban san (petugas piket) yang bertugas menjalankan program harian. Dan ini biasanya dilakukan oleh ibu-ibu anggota dari ke-4 grup tadi. Touban san ini bertugas menjadi MC untuk program hari itu, membawa sampah hari itu ke rumah, membersihkan kamar mandi dan mencuci waslap (alat membersihkan meja untuk acara makan snack/oyatsu), serta membeli snack.
Acara dimulai pukul 9.30 JST, biasanya diawali oleh senam pertemuan. Dilanjutkan dengan mengabsen satu-persatu anggota grup, lalu diikuti dengan lagu anak-anak yang biasa dikenal oleh masyarakat Jepang.
Setelah itu, program utama, seperti menggunting, menempel, menggambar dan lain-lain. Oyatsu jikan (waktu makan snack) menjadi acara favorit anak-anak sampai akhirnya dilakukan senam penutup.
Acara berakhir sekitar jam 11.30 JST.
Di setiap pertemuan ada 2 grup yang bertugas membersihkan ruangan setelah selesai acara, jadi kalau saya sedang kebagian piket ini, maka saya harus bersiap-siap untuk pulang lebih lambat dari biasa.
Kegiatan-kegiatan di jidoukan secara umum positif untuk mengasah kemampuan anak-anak bersosialisasi dengan teman sebayanya.
Selain itu, program-program di jidoukan juga merupakan program persiapan untuk masuk ke dunia sekolah (TK).
Baca Juga: Jidoukan, Fasilitas Bermain Anak di Jepang
Jidoukan, Fasilitas Tempat Bermain Anak di Jepang (3)
Namun, perlu dicermati juga adanya budaya-budaya yang tidak sesuai dengan Islam atau bahkan dapat mengganggu aqidah anak-anak kita.
Misalnya program natal atau valentine, atau program lainnya yang perlu diteliti lebih lanjut.
Untuk saya sendiri, bila ada kegiatan yang dirasa bisa mengganggu aqidah anak-anak saya, maka saya memilih libur dengan alasan tidak sesuai dengan prinsip hidup saya sebagai seorang muslim.
Dan ternyata mereka mau menerima dan menghargainya.
Begitu juga dalam hal memilih makanan untuk anak saya dalam oyatsu jikan. Saya biasanya mengatakan mana makanan yang bisa dimakan atau yang tidak bisa dimakan.
Saya bahkan meminta untuk diperbolehkan membawa makanan sendiri agar tidak menyusahkan para pengurus kelompok bermain.
Dan alhamdulillah, ternyata mereka bisa mengerti dan bahkan menyiapkan makanan cadangan khusus, bila snack yang tersedia hari itu tidak bisa dimakan oleh anak saya.
Ada beberapa hal yang saya kagumi dari kerja para ibu Jepang ini. Pertama, masalah kerapihan mereka dalam merancang program dan menyiapkan pernak-perniknya.
Untuk program harian, para leader biasanya menyiapkannya sejak sebulan sebelumnya. Mulai dari program apa yang akan dijalankan, siapa penanggung jawabnya, sampai apa yang perlu dibawa oleh para member.
Sedangkan untuk acara-acara besar seperti undoukai, wakarekai (pesta perpisahan) atau acara ulang tahun, disiapkan sejak tiga bulan sebelumnya oleh orang-orang yang ditunjuk sebagai penanggung jawab oleh para leader.
Kedua, masalah kerapihan mereka dalam mendokumentasikan semua program-program yang berjalan. Pernah saya diikutsertakan sebagai panitia dalam acara wakarekai tahun lalu.
Saat itu, saya melihat sendiri bagaimana panitia menjadikan acara tahun sebelumnya sebagai panduan dengan membaca arsip yang ditulis dengan rapi. Hal ini menandakan kerapihan mereka dalam berorganisasi dan persiapan untuk regenerasi.
Itulah cerita singkat mengenai jidoukan, fasilitas bermain anak di Jepang. Semoga menjadi inspirasi bagi para ibu di Indonesia.[ind]