ChanelMuslim.com – Ketika anak kedua saya lahir, persoalan menjadi lebih rumit. Saya tidak saja harus beradaptasi kembali dengan aktivitas mengurus bayi mungil, beradaptasi dengan perubahan hormon-hormon pasca kehamilan, tetapi juga harus menghadapi kecemburuan sang kakak yang merasa tersisih dengan kehadiran sang bayi. Menghadapi sisi psikologis anak kecil yang rumit.
Oleh: Hifizah Nur, S.Psi., M.Ed. (Ketua Hikari Parenting School)
Menjadi seorang ibu baru, merupakan pengalaman yang menyenangkan bagi saya. aktivitas sehari-hari yang direpotkan dengan urusan mengganti popok yang basah, menyusui di tengah malam sambil terkantuk-kantuk, dan kesibukan lainnya, tidak membuat saya jenuh.
Perasaan bahagia memiliki anak pertamalah yang membuat saya menjalani peran ibu baru itu dengan senang hati. Bisa dibilang, anak pertama saya mendapatkan perhatian dan kasih sayang yang penuh dari saya sebagai ibunya.
Ketika anak kedua saya lahir, persoalan menjadi lebih rumit. Saya tidak saja harus beradaptasi kembali dengan aktivitas mengurus bayi mungil, beradaptasi dengan perubahan hormon-hormon pasca kehamilan, tetapi juga harus menghadapi kecemburuan sang kakak yang merasa tersisih dengan kehadiran sang bayi. Menghadapi sisi psikologis anak kecil yang rumit.
Tidak mudah melalui hari-hari pertama saya bertiga saja dengan sang kakak dan sang bayi. Meskipun saya berusaha memberikan perhatian yang sama dengan sebelum melahirkan sang bayi, tetapi ternyata itu tidak cukup.
Baca Juga: Tahniah, Siti Nurhaliza Lahirkan Anak Kedua
Anak Kedua
Sang kakak terus-menerus berusaha membuktikan apakah kasih sayang saya masih ada untuknya setelah sang adik lahir.
Kecemburuan ini sering kali diungkapkan ketika sang kakak sedang bad mood, dengan melakukan sesuatu yang bisa membuat sang akachan menangis, seperti memegangnya ketika sang bayi sedang tidur, memukulnya bahkan menendang. Dan semua ini dilakukan untuk menarik perhatian saya yang terbagi dengan si kecil.
Menghadapi hal seperti ini tentu sangat menguras energi saya saat itu. Awalnya perubahan perilaku sang kakak ini saya hadapi dengan sikap yang keras untuk mengajarkan mana perilaku yang baik dan mana perilaku yang buruk. Kadang disertai dengan ancaman atau hukuman berupa dipindahkan ke ruangan lain bila ia tidak mau bersikap baik dengan adiknya.
Tetapi, semakin sering saya melakukannya, semakin terkuras tabungan emosi yang ada dalam diri sang kakak yang sudah saya pupuk sejak hari pertama kelahirannya.
Semakin jauh jarak emosi yang saya rasakan antara saya dengan sang kakak. Dan kekhawatiran akan ‘kehilangan kelekatan’ dengan sang kakak inilah yang akhirnya membuat saya sadar, bahwa apa yang saya lakukan selama ini adalah salah.
Saya harus mengubahnya, sebelum saya ‘kehilangan’ sang kakak untuk selama-lamanya. Sebelum sikap saya ini menjadi kebiasaan, dan akhirnya menjadi watak yang mendasari hubungan kami.
Saya pun mengubah haluan dan berusaha membangun kembali tabungan emosi saya yang terkuras karena kelahiran sang bayi.
Saat sang kakak memuncak emosinya, saya berusaha untuk memeluk sang kakak. Meredam emosi saya ketika ia berbuat tidak baik kepada sang adik, dan menasihatinya dengan lembut untuk mengubah perilakunya.
Dan memang hal ini tidak bisa berubah dalam satu hari. Butuh waktu yang cukup lama sampai akhirnya sang kakak mengerti bahwa saya masih tetap mencintainya meskipun sang adik sudah lahir. Membuktikan, bahwa apa pun kesalahan yang ia lakukan tak mempengaruhi kasih sayang saya padanya.
Alhamdulillah, setelah itu, hubungan kami menjadi lebih baik. Bahkan sang kakak bisa belajar mencintai adiknya dan menerima kehadirannya sebagai adik kecil yang harus dilindungi dan disayangi.
Meskipun kadang-kadang masih suka jahil kepada adiknya, tapi dengan sedikit diingatkan, sang kakak akan menghentikan tingkah laku buruknya.[ind]