ChanelMuslim.com – (Berinfaklah) untuk orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah; mereka tidak dapat (berusaha) di bumi; orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari minta-minta. Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka sesungguhnya Allah Mahamengetahui
{Quran surah 2 (Al-Baqoroĥ): 273}.
Kaum Fakir yang Terikat di Jalan Allah
Semasa hidup Rasulullah saw, orang-orang mengerahkan harta mereka untuk berjihad memperjuangkan agama baru dari gangguan orang-orang kafir. Tapi, di antara mereka banyak juga yang papa. Mereka sedih karena tak punya kendaraan (kuda) untuk berperang, padahal mereka ingin sekali ikut berperang.
Saya yakin hingga kini selalu ada orang-orang seperti ini. Mereka merasa sedih karena tak mampu berbuat sebesar saudara-saudara mereka yang kaya untuk kepentingan perjuangan di jalan Allah. Merekalah yang menurut saya tergolong kaum “fakir yang terikat di jalan Allah” sebagaimana disebutkan dalam QS 2: 273 di atas.
Adapun kaum fuqorõ (jamak dari faqiyr) adalah orang-orang yang membutuhkan bantuan untuk mempertahankan hidup sehari-hari karena tidak mempunyai pekerjaan (mata pencaharian) untuk mencukupi dirinya atau keluarganya, tapi mereka tak mau meminta-minta. Mereka tergolong salah satu mustahiq, ‘orang yang berhak menerima zakat’.
Selengkapnya, delapan golongan mustahiq atau ashnaf adalah, faqiyr (fakir, lihat atas); miskin (sama seperti fakir, tapi mereka tidak segan meminta-minta); amil (pengurus zakat); muallaf (yang terpikat hatinya untuk memeluk Islam); riqob (hamba atau budak –contohnya, korban perdagangan manusia); ĝoriym (orang yang berutang untuk kebutuhan hidup);
fiy sabiylillāĥ (yang terikat di jalan Allah, terikat pada komitmen untuk hanya berpihak pada kebenaran); dan ibnussabiyl (traveller atau backpacker atau musafir, orang yang dalam perjalanan bukan untuk tujuan maksiat, orang yang menuntut ilmu di daerah lain di luar wilayah domisilinya, orang yang mencari karunia Allah di daerah yang jauh dari rumah).
Bagaimana Mendapatkan Informasi
Tapi, siapa di antara kita yang mengenali keberadaan fuqorõ di tengah masyarakat, sedangkan mereka segan untuk menengadahkan tangan seperti mustahiq dalam kategori masakiyn (orang-orang miskin)?
Diperlukan lebih dari sekadar amil zakat untuk mengetahui keberadaan mereka. Ini tugas negara sebetulnya, mengacu pada undang-undang yang bunyinya, “Fakir-miskin ditanggung negara.” Bagaimana negara mengetahui siapa yang fakir di antara warga jika ia tak pernah menyelidiki dengan seksama?
Menurut saya, warga muslim di negeri ini tidak punya visi intelijen Islami. Ya, hingga kini aktivitas intelijen kita –dilakukan dinas intelijen yang dinilai lebih peka-informasi di atas rata-rata– belum benar-benar beranjak dari paradigma lama yang berangkat dari visi negatif bahwa setiap informasi yang diselidiki dan diverifikasi adalah yang berpotensi membahayakan negara.
Adapun yang disebut intelijensia –atau lebih sering disebut intelektual– adalah kaum yang dinilai memiliki kekuatan berpikir independen dan umumnya berangkat dari wilayah keilmuan akademik maupun lembaga-lembaga keilmuan lainnya.
Memang, pemerintah telah menaikkan gaji para peneliti sehingga diharapkan ada peningkatan kesejahteraan kaum intelijensia kita. Tapi, alangkah baiknya bila peningkatan kesejahteraan yang sama diterapkan di kalangan para pendidik muslim, juga jurnalis muslim.
Apa bedanya para ustaz dan para da`i tersebut dengan think tank yang digaji negara? Mereka sama-sama kaum intelijensia yang bergerak di bidang keilmuan yang bermanfaat bagi kehidupan sehari-hari.
Sayangnya, kalaupun ada institusi pendidikan Islam yang diperhatikan kesejahteraannya, hal itu terkait bantuan finansial termasuk dari pihak asing yang mensyaratkan bahwa yang mendapat bantuan mengubah-ubah kurikulum atau sistem pendidikan agar tak menjurus ke arah yang mereka sebut sebagai “radikal”. Itu terjadi di negeri ini sewaktu negara Amerika di bawah Presiden Bush senior dan junior melancarkan perang terhadap terorisme.
Sekolah-sekolah Islam yang dibantu AS misalnya pernah diminta merevisi ajaran tentang jihad. Lho, memangnya ajaran jihad muncul dari perenungan-perenungan kontemplatif seorang manusia? Tak ada campur tangan manusia dalam jihad, itu murni ajaran Tuhan. Pemerintah justru perlu mendukung pendidikan jihad untuk mencegah munculnya aksi-aksi ekstrem yang mengatasnamakan jihad. Anda tak perlu berilmu tinggi untuk bisa bertindak ekstrem.
Yang kita perlukan adalah visi intelijen berpikiran positif, husnuž-žonn (bersangka baik) terutama dengan tujuan menemukan sosok intelijensia positif pula. Intelijen positif bahkan berguna untuk menemukan bakat-bakat terbaik yang bermanfaat buat manusia, sebagaimana disebutkan sebuah hadis Nabi Muhammad saw, “Sebaik-baik manusia adalah ia yang bermanfaat bagi manusia lain.”
Seorang khalifah atau amir atau atau perdana menteri atau presiden atau gubernur tak harus belusukan atau menyamar seperti Khalifah `Umar untuk mengetahui kondisi rakyatnya. Ia cukup memanfaatkan kerja intelijen husnuz-zon untuk menyurvei kondisi duafa (kaum lemah secara sosial-ekonomi).
Di antara golongan mustahiq saja setidaknya ada yang informasinya tak mudah diketahui tanpa kerja intelijen positif, yaitu fakir; riqob (budak) yang menunjukkan bahwa perbudakan tidak benar-benar hilang di muka bumi antara lain dengan adanya human trafficking; dan fiy sabiylillāĥ.
Intelijen positif mengumpulkan informasi positif yang bermanfaat bagi sesama. Itu fungsi intelijen yang tak kalah bermanfaat dengan intel pertahanan atau keamanan.
Fungsi intel lainnya, mencari bakat-bakat positif untuk membangun dan menyejahterahkan masyarakat. Dulu kuingat ada iklan cerdas di televisi tentang perusahaan ekspedisi yang membutuhkan SDM. Perusahaan memata-matai seseorang bertubuh kecil yang gesit dan mengetahui “jalan-jalan tikus” untuk sampai ke tujuan.
Perusahaan juga mengawasi seseorang bertubuh gempal yang ringan tangan dan mau membantu orang mengangkut beban di atas punggung. Keduanya (si gesit dan si gempal) “diculik” perusahaan tersebut dan mereka hidup sejahtera di tempat yang baru. Iklan itu bisa jadi contoh mengenai fungsi intelijen di dunia bisnis.
Fungsi intelijen lainnya, tak lain, mencari bakat-bakat pemimpin. Realitas hari ini, orang-orang yang ambisius jadi pemimpin musti mengeluarkan banyak uang agar bisa dipilih jadi bakal calon pemimpin. Padahal, hadis Nabi Saw menyebutkan, “Jabatan tidak diberikan kepada orang yang sangat menginginkannya.”
Jadi, agar bisa mendapatkan orang yang tidak menginginkannya, ya diselidiki. Kalau ketemu, baru ditawarkan –bahkan jika tidak mau, dipaksa, diyakinkan supaya mau. Bukan seperti kebanyakan pilkada di Indonesia, belum-belum sudah dibuka bursa calon pemimpin, ketika yang terbanyak mengeluarkan fulus itulah yang berpeluang mulus meraih predikat “terpilih secara demokratis”.
Jurnalisme di Jalan Allah
Kini kita telaah fiy sabiylillāĥ. Pada masa kini, arti jihad di jalan Allah mengalami perluasan makna, bukan hanya berperang. Ini keterangan dari buku Khazanah Istilah Al-Quran-nya Racmat Taufiq Hidayat (1990). Menafkahkan harta fiy sabiylillāĥ didefinisikan meliputi belanja untuk kepentingan jihad, pembangunan institusi pendidikan, rumah sakit, penelitian ilmiah, dll.
Anda bisa menambahkan: belanja untuk kepentingan jurnalisme muslim. Saya berpendapat jurnalisme adalah aktivitas yang sangat islami, yang berhubungan dengan tugas para rasul dan nabi.
Muslim dengan “m” huruf kecil bukanlah semata-mata identitas legal-formal orang yang tercatat beragama Islam, melainkan ‘orang yang berserah diri kepada Allah’. Seorang jurnalis muslim bukanlah semata-mata ia yang KTP-nya mencantumkan agama Islam.
Jurnalisme muslim mencakup aktivitas-aktivitas intelektual para perawi hadis Nabi Saw, sejarawan muslim, aktivitas dakwah para da’i dan mubalig, aktivitas jurnalistik para jurnalis, juga aktivitas obyektif para ilmuwan dan penegak hukum.
Mereka hanya berbeda-beda dalam cara mendapatkan informasi. Tapi, mereka tidak punya kepentingan lain selain menyampaikan kebenaran. Itu kebenaran berupa informasi yang bermanfaat buat kehidupan, dan kehidupan itu sejatinya tidak hanya di dunia tapi juga kehidupan yang baik dan abadi di negeri akhirat.
Asal tahu saja, keberadan kaum jurnalis lepas –freelance, yang masih berkutat dengan pemenuhan ekonomi rumah tangganya, tampaknya tak terdata sensus mengenai penduduk berpenghasilan rendah, karena petugas pendata kebanyakan hanya menitipkan isian kepada warga lokal alih-alih menemui langsung respondennya. Juga, karena negara dan masyarakat nampaknya tidak serius mencari tahu.
Jurnalis muslim yang satu ini tidak dapat berkiprah di profesi-profesi lain karena satu dan lain hal. Di satu sisi, mereka committed untuk menyampaikan kebenaran lewat tulisan-tulisan jurnalistik yang imparsial (tak memihak) dan tanpa kepentingan lain selain lillahi ta`ala. Ia juga ingin menjaga independensi, tak mau dibilang partisan atau pun komersial.
Tapi di sisi lain, mereka juga punya kewajiban untuk menutupi kebutuhan ekonomi rumah tangga secara halal. Tidak mudah menyatukan kombinasi keduanya.
Maka, seorang jurnalis muslim yang jujur dan istiqomaĥ menyampaikan kebenaran itu ada di dua kelompok, pertama, kelompok yang terikat di jalan Allah, jurnalis muslim tadi; dan kedua, fakir, yang melulu berprofesi freelance seperti diuraikan di atas. Keduanya sama-sama tergolong ashnaf.
Iman dan Amal Saleh: Satu Paket
Yang kita perlukan untuk mendapatkan informasi mengenai orang-orang yang ahli di bidangnya adalah semacam head hunters, atau para perekrut paksa bagi SDM beriman. Ini mungkin diberlakukan, jika para perekrutnya juga terdiri dari orang-orang beriman.
Keimanan untuk sebagian memang masalah hati. Tapi, konsep-konsep Alquran mengandung sekaligus makna-makna literal dan metafor. Orang beriman dalam kategori wali (pelindung, pemimpin, yang dapat dipercaya) punya karakteristik yang bisa disaksikan secara lahir, menurut Quran surah 5 (Al-Mãidaĥ) ayat 55,
yaitu mendirikan shalat, membayar zakat atau menafkahkan sebagian rezeki yang ia dapatkan, dan tunduk bersama-sama orang lain terhadap perintah Allah (yang dicontohkan menurut mufasir tertentu sebagai kesediaan seorang lelaki untuk shalat berjamaah di masjid).
Iman acap kali ditulis serangkai dengan amal saleh, sehingga beriman itu tak terpisahkan dari berbuat baik. Sebagaimana komitmen untuk beriman kerap dirangkai dengan perbuatan menegakkan salat, dan salat dirangkai dengan menunaikan zakat, maka orang yang menegakkan salat juga adalah mereka yang membayar zakat. Orang yang salat adalah orang yang berbagi rezeki.
Ini pun memerlukan kerja intelijen untuk membuktikannya, karena orang beriman terkadang memberi secara diam-diam, menurut sebuah nash, “Tangan kanan memberi tanpa diketahui tangan kiri”. Dia tidak mau perbuatan sedekahnya diketahui orang, karena takut terjerumus ke dalam praktik riya (pamrih, pamer), yaitu berbuat baik demi motif lain selain lillahi ta`ala.
Bahkan, bukan cuma intel, yang namanya jurnalis juga bertugas untuk mengungkapkan “kebaikan-kebaikan tersembunyi” dan bukan melulu “kejahatan-kejahatan tersembunyi”.
Dan Allah lebih tahu.
—————-
agung puspito
(jurnalis muslim)