Oleh: Yons Achmad
(Kolumnis, tinggal di Depok)
ChanelMuslim.com – RUU Ketahanan Keluarga mendapatkan sorotan publik. RUU ini diusulkan oleh 5 anggota DPR lintas fraksi. Di antaranya, Ledia Hanifa dan Netty Prasetiyani dari PKS, Endang Maria Astuti dari Golkar. Selain itu, Sodik Mujahid dari Gerindra dan Ali Taher dari PAN. Di media, beragam komentar terkait dengan RUU ini bermunculan. Hanya saja, lebih banyak terkesan asumtif. Bahkan, banyak yang sekadar pokoknya ditolak. Kenapa? Salah satu alasannya, hanya karena yang mengusulkan polopornya dari PKS. Siapa penolaknya? Lebih banyak tokoh liberal dan mereka yang mengaku feminis atau aktivis HAM.
Munculnya RUU Ketahanan Keluarga, saya kira berangkat dari maksud baik. Tak ada misalnya intervensi dari pihak asing atau kekuatan modal yang menyokong di dalamnya. Alih-alih dengan serampangan langsung melakukan penolakan, alangkah lebih baiknya kita cermati lebih dalam. Kita telisik lebih tenang dengan akal sehat sehingga kita mendapatkan gambaran yang lebih adil atas usulan sebuah tatanan yang lebih baik.
Herien Puspitawati (2013), Dosen Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen IPB (2013) dalam makalahnya berjudul “Ketahanan dan Kesejahteraan Keluarga” mengutip konstitusi yang masih berlaku menyebut Ketahanan Keluarga adalah kondisi dinamis suatu keluarga yang memiliki keuletan dan ketangguhan serta mengandung kemampuan fisik material dan psikis mental spiritual guna hidup mandiri, mengembangkan diri dan keluarganya untuk mencapai keadaan harmonis dalam meningkatkan kesejahteraan lahir dan batin.
Lebih lanjut, mengutip Chapman (2000) ada lima tanda adanya ketahanan keluarga (family strength) yang berfungsi dengan baik (functional family) yaitu (1) Sikap melayani sebagai tanda kemuliaan, (2) Keakraban antara suami-istri menuju kualitas perkawinan yang baik, (3) Orangtua yang mengajar dan melatih anaknya dengan penuh tantangan kreatif, pelatihan yang konsisten dan mengembangkan ketrampilan, (4) Suami-istri yang menjadi pemimpin dengan penuh kasih dan (5) Anak-anak yang mentaati dan menghormati orangtuanya. Terlepas dari kontroversi yang bermunculan di media, ada beberapa hal menarik terkait dengan RUU Ketahanan Keluarga ini, di antaranya:
Pertama, Apresiasi untuk pengusung. Dalam hal ini, partai pengusung RUU Ketahanan Keluarga, di antaranya PKS, PAN dan Gerindra perlu mendapatkan apresiasi. Sementara, Golkar memang ikut mengusulkan tapi lantas mundur karena kontroversi bermunculan. Kenapa harus kita apresiasi? Inilah salah satu kinerja wakil rakyat yang berkiprah dalam “Jihad Konstitusi”. Memberikan kontribusi bagi terciptanya tatanan yang lebih baik. Sebuah sistem bagi pengelolaan kehidupan warga yang lebih bermutu. Layaknya sebuah perjuangan, kontroversi, penolakan, tentu hal yang biasa. Menjadi tugas publik kemudian untuk terus mendorong, memberi dukungan bagi rancangan undang-undang ini menjadi konstitusi yang berlaku di Indonesia.
Kedua, Pentingnya Dukungan atas RUU Katahanan Keluarga. Menjadi penting publik mendukung rancangan ini menjadi Undang-Undang. Kenapa? Yang utama untuk memberikan perlindungan bagi keluarga. Sebab, banyak persoalan rumah tangga yang tidak disentuh lewat Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Selain itu, untuk mewujudkan sebuah keluarga yang harmonis dan sukses melahirkan generasi yang lebih baik. Menjadi masuk akal argumen keluarga sebagai institusi terkecil dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, ketika institusi ini adalah sukses, maka kita akan sukses melahirkan generasi yang lebih bagus. Ini spirit moral dan filosofinya. Dalam tataran praktis RUU ini juga diharapkan bisa menekan angka perceraian di Indonesia.
Ketiga, Perihal Kontroversi. Memang tak semua hal baik mendapatkan dukungan publik. Termasuk RUU Ketahanan Keluarga ini. Ada beberapa problem yang mendapat sorotan. Di antaranya, RUU ini dinilai masuk ke ranah privat, mendomestifikasi perempuan, tak sependapat jika LGBT masuk penyimpangan seksual dan harus direhabilitasi, anti kesetaraan dll. Singkat kata, aktivis perempuan Siti Musdah Mulia menilai rancangan ini sebagai RUU Jahiliyah.
Di sini, saya tak ingin mengurai pasal demi pasal yang menjadi kontroversi. Hanya saja, kalau melihat falsafah dan tujuan hadirnya RUU Ketahanan Keluarga ini, seperti yang saya sampaikan di awal, berangkat dari maksud yang baik dan mulia. Menjadi agenda penting selanjutnya adalah memberikan landasan dan argumentasi logis pada setiap pasal yang bakal diundangkan. Di sinilah perlunya elemen pendukung RUU Ketahanan Keluarga ini turut serta, ambil bagian dalam memberikan kontribusi pemikiran. Pada akhirnya, pertarungan wacana, terutama dimedia menjadi jalan yang harus dilalui dalam memperjuangkan tatanan lebih baik di ranah konstitusi. [ind]