ChanelMuslim.com – Baru-baru ini BPJH dengan MUI Malaysia atau disebut disana Jabatan Kemajuan Islam Malaysia (JAKIM) melakukan perjanjian kerjasama terkait dibolehkannya produk makanan Malaysia tanpa pemeriksaan sertifikasi halal dari MUI.
Perjanjian kerjasama yang dilakukan pada tanggal 26 Januri 2019 itu ternyata sangat berbahaya bagi Indonesia dan melanggar undang-undang 33 tahun 2014 tentang jaminan produk halal, yaitu untuk melindungi para pengusaha Indonesia dan bangsa Indonesia dari serbuan produk-produk asing yang masuk ke Indonesia sebagaimana pasal UUJPH, 'produk yang masuk beredar dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal'.
Menurut Direktur Indonesia Halal Watch Ikhsan Abdullah.dari kata 'produk yang masuk' beredar dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikasi halal. dihubungkan dengan Pasal 10 ayat (2) UUJPH.
"Penerapan Kehalalan produk sebagaimana dimaksud pada ayal (1 ), huruf b, dikeluarkan oleh MUI dalam bentuk Keputusan Penetapan Halal Produk. Hal ini memberikon pengenian bahwa produk dari manapun termasuk produk asing dalam hal ini produk dari Malaysia, yang masuk ke Indonesia wajib mendapat Keputusan Penetapan Halal darl MUI,"katanya ditemui ChanelMuslim.com, Rabu (6/2/2019).
Dengan kota lain, tidak ada lembaga lain selain MUI yang bisa menyatakan bahwa sesuatu produk itu “halal" termasuk juga BPJPH, tidak bisa menentukan sesuatu produk asing itu halal. Semuanya itu haruslah "di cek and recek ulang serta diperiksa ulang kehalalannya oleh Majelis Ulama indonesia, sesuia Standar Produk Halal dari MUI.
Ikhsan melanjutkan,sesuai dengan ketentuan hukum, mengenai “kedaulatan Negara" . Maka segala apa yang dinyatakan halal oleh JAKIM, hanyaiah berlaku di Malaysia.
"Bila produk barang dan jasa itu akan masuk dan atau beredar di Indonesia, maka wajib memperoleh "pemyataan Halal" atau Keputusan Penetapan Halal dari MUI sebagaimana diakui oleh UUJPH bahwa satu-satunya lembaga yang memiliki otoritas “penetapan halal" hanyalah Majelis Ulama indonesia,"tambahnya.
Menurutnya jika dibandingkan dengan adanya saling mengakui atau “recognize" antara Indonesia dan Malaysia, maka tentu tetap saja, sangat menguntungkan Pihak Maiaysia.
"Karena penduduk Malaysia di tahun 2018 +/29.062300. (dua puluh sembilan juta enam puluh dua ribu tiga ratus ) penduduk, sementara penduduk Indonesia di tahun 2018 +/265.000.000,(duo ratus enam puluh lima juta ) penduduk. Dengan demikian tetap saja Pihak Malaysia yang diuntungkan dan pihak Indonesia yang dirugikan,"sindirnya.
Jika dihubungkan dengan Tujuan Nasional Negara Republik Indonesia sebagaimana disebutkan didalam Pembukaan UUD I945, kata Ikhsan, maka masuknya “produk-produk" Malaysia yang tanpa di cek ulang dan atau tanpa disertifikasi dengan ketentuan "Sertitikasi Halal" dengan standar halal MUI.
"Perbuatan penandatanganan MOU sebagaimana tersebut diatas. sangatlah merugikan Para Pengusaha Nasional Indonesia dan bangsa Indonesia,"kata lulusan Universitas Indonesia ini. (Ilham)