UNTUNG rugi itu biasa dikenal dalam perdagangan. Kalau pendapatan lebih kecil dari modal, ia disebut rugi. Kalau sebaliknya untung. Bagaimana kalau ukurannya pahala?
Dunia perdagangan atau bisnis begitu diingatkan dengan istilah untung rugi. Kalau terus untung, bisnis akan langgeng. Dan kalau rugi, bisnis akan bangkrut.
Sayangnya, untung rugi terpenjara hanya pada angka-angka. Kalau penghasilan lebih besar dari modal, ia untung. Dan begitu sebaliknya akan disebut rugi.
Karena itu orang menjadi terpaku pada kelebihan dan kekurangan. Dan angka-angka tadi menjadi patokan yang tidak bisa ditoleransi.
Seolah-olah, pada dunia bisnis tidak dikenal istilah gratis. Jangankan gratis, jual murah saja dianggap bisa menjerumuskan.
Padahal, pedagang atau pebisnis adalah juga seorang manusia. Ia bukan robot yang tidak punya jiwa, rasa kasih sayang, dan empati.
Terlebih jika pebisnis juga seorang mukmin. Keimanan mengajarkannya untuk menguntungkan orang lain, meskipun merugikan diri sendiri.
Ada juga yang memisahkan antara urusan bisnis dengan keimanan. Bisnis ya bisnis, yang untung diambil dan yang rugi dihindari.
Kalau tentang tuntutan keimanan seperti zakat, sedekah, infak, atau pemberian lain; itu dianggapnya di luar dunia bisnis. Ada ruang tersendiri untuk mengamalkan itu.
Lalu, bagaimana jika bisnisnya seret, apakah itu berarti infak dan sedekahnya juga akan seret?
Padahal, infak dan sedekah bukan selalu berkaitan dengan orang yang berduit. Tapi melekat pada diri setiap mukmin, meskipun ia miskin.
Di sisi lain, ada janji Allah subhanahu wata’ala bahwa infak dan sedekah itu akan dibalas berlipat-lipat dari yang diberikan: di dunia dan akhirat.
Para sahabat Nabi radhiyallahu ‘anhum terdidik untuk tidak memisahkan antara sebagai pebisnis dengan seorang mukmin yang berburu pahala.
Mereka begitu entengnya menginfakkan sebagian besar asetnya untuk jihad dan dakwah. Bukan sekadar kalkulasi normal besaran infak seperti 2,5 persen.
Abdurrahman bin ‘Auf bahkan pernah menginfakkan seluruh asetnya untuk biaya jihad. Tapi hal ini ditolak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Pertanyaannya, apakah bisnis para sahabat yang ‘loyar’ itu mengalami bangkrut? Kenyataannya tidak. Justru semakin berlimpah.
Abdurrahman bin ‘Auf misalnya tercatat dalam sejarah mewariskan kekayaan yang jika dirupiahkan mencapai sekitar empat triliun rupiah.
Ia pun berwasiat untuk membagi dari sebagian warisannya untuk janda-janda Rasulullah. Yang ditaksir dari jatah untuk janda-janda Rasululah mendapat jatah sekitar 40 milyar rupiah per orang.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah menasihati Asma binti Abu Bakar radhiyallahu ‘anhuma. “Wahai Asma, janganlah engkau menakar-nakar sedekahmu, karena boleh jadi Allah juga akan menakar-nakar rezekimu.”
Untung rugi itu memang terlihat hanya tentang uang. Tapi, manusia itu tidak hanya terkait dengan uang. Susah bahagia, sakit sehat, tenang gelisah; dan lainnya lebih karena anugerah Allah. Bukan karena banyak sedikitnya uang.
Jadi, luaskan jangkauan untung rugi bukan pada sekadar uang. Dengan begitu, kita akan mendapatkan untung yang juga bukan sekadar uang. Tapi, jauh lebih besar dari itu. [Mh]