MANUSIA lahir tanpa membawa apa pun. Dan, akan pergi hanya dengan selembar kain kafan.
Hidup ini kadang terasa seperti mengejar kepemilikan. Anak-anak yang ingin memiliki banyak hal, orang dewasa yang bekerja keras untuk memiliki yang diinginkan, dan seterusnya.
Kehidupan pun menyatu dengan kepemilikan. Seperti memiliki rumah, kendaraan, keluarga, busana, sarana, dan masih banyak lagi.
Ketika semuanya terasa sulit untuk dipisahkan, Allah subhanahu wata’ala mengingatkan bahwa apa yang diklaim milik manusia itu sebenarnya milik Allah. Manusia hanya penerima titipan sementara.
Para manusia agung Allah uji dan ingatkan dengan kepemilikan itu. Apa yang mereka paling cintai sebagai milik mereka, diuji untuk direlakan kembali kepada Allah.
Nabi Adam alaihissalam mengalami pembangkangan salah seorang puteranya. Ia seperti tersadar bahwa apa yang telah ia lakukan sekadar menjalankan tugas titipan. Pemilik sebenarnya Allah Yang Maha Kuasa menentukan segalanya.
Nabi Nuh alaihissalam juga mengalami hal yang sama. Salah seorang puteranya membangkang. Ia pun tersadar bahwa tugasnya hanya sebagai pelaksana titipan, ketentuan akhirnya ada pada Allah subhanahu wata’ala.
Nabi Ibrahim alaihissalam lebih dramatis lagi mengalami ujian ini. Puluhan tahun ia menanti kehadiran seorang anak. Dan anak yang lahir pun begitu mempesona hatinya. Namanya Ismail alaihissalam.
Dunia pun terasa jauh lebih indah ketika kehadiran puteranya itu. Seperti tak henti-hentinya Nabi Ibrahim mengungkapkan rasa syukurnya itu dengan memberikan banyak makanan kepada banyak orang.
Tapi, Allah mendatangkan sebuah mimpi yang berat. Ia diperintahkan untuk menyembelih putera belahan hati dan jiwanya itu.
Nabi Ibrahim menanyakan hal itu kepada Ismail. Sepertinya, ia ingin melihat aliran cinta antara hatinya dengan hati Ismail.
Di luar dugaan, Ismail begitu Ikhlas menerima perintah Allah itu. “Lakukanlah, ayahku. Insya Allah aku akan bersabar.”
Sebuah drama agung tentang cinta seorang ayah dan putera kesayangannya pun terukir dalam nilai yang terwariskan dari generasi ke generasi. Cinta yang diujikan dengan kepemilikan sebenarnya. Bahwa, Allahlah yang memiliki semua yang diklaim milik kita itu.
Keduanya lulus dalam ujian berat itu. Allah menggantikan sembelihannya dengan seekor kambing. Bukan putera yang sangat ia cintai itu.
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam jauh lebih berat lagi diuji. Dari tujuh putera-puteri beliau, hanya satu saja yang wafat sesudah wafatnya baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Kematian seorang anak adalah perpisahan yang paling berat yang dialami seorang ayah dan ibu. Bahwa, bukan sang ayah dan ibu yang memiliki anak-anak itu, melainkan Allah subhanahu wata’ala.
Anak merupakan simbol kepemilikan paling tinggi yang dimiliki manusia. Ikatannya tak pernah memiliki bekas, selalu melekat kapan pun dan di mana pun.
Rumah bisa disebut bekas ketika sudah dijual. Begitu pun dengan kendaraan dan benda-benda lain yang bisa berganti pemilik. Istri atau suami pun bisa disebut bekas ketika terjadi perceraian. Tapi anak tidak ada bekasnya.
Jika para manusia agung itu lulus dengan ujian kepemilikan paling berat itu, maka ia pun akan lulus dengan ujian kepemilikan lain dalam hidup ini.
Kita bukan siapa-siapa. Tentu tidak akan mampu mencapai keagungan para Nabi dan Rasul. Tapi setidaknya, ada sebuah kesadaran bahwa apa yang saat ini kita miliki sebenarnya hanya titipan.
Kita akan kembalikan yang kita ‘miliki’ itu ke jalan Allah untuk memuliakan agama Allah. Semoga kita selalu lulus dengan ujian kepemilikan yang terasa berat itu.
Kalau dulu kita lahir dengan tidak membawa apa-apa. Maka, ingatkan diri kita lagi dan lagi, bahwa kita akan pergi dengan tidak membawa apa-apa, kecuali selembar kain kafan. [Mh]