ALAM terhubung dalam satu jiwa. Jika kita berbuat baik, hasil baiknya kembali untuk kita sendiri. Begitu pun sebaliknya.
Seseorang menyiram pepohonan di halaman rumah. Pagi dan sore. Sepekan sekali, pepohonan itu diberi pupuk.
Apa yang akan terjadi? Pohon-pohon itu tumbuh subur. Yang jenis buah, berbuah dengan lebatnya. Yang jenis hias, tumbuh aneka bunga yang segar dan indah.
Kesegaran pepohonan memunculkan sirkulasi oksigen dan karbon di halaman rumah begitu dinamis. Halaman dan rumah menjadi sejuk dan teduh. Orang-orang di sekitar rumah pun menjadi sehat.
Begitu pun sebaliknya. Pepohonan yang tidak disiram, tanpa diberi pupuk; akan layu dan mati. Sirkulasi oksigen dan karbon di sekitar halaman rumah menjadi mandeg. Udara menjadi panas. Dan orang-orang di sekitar rumah pun menjadi tidak sehat.
Satu pertanyaan mendasar: kenapa ada orang yang begitu rajin dan tekun menyiram dan merawat tanaman. Padahal tak ada yang menggaji atau memberikan penghargaan.
Karena, ia memiliki cinta terhadap pepohonan. Cinta menggerakkannya untuk rela bercapek-capek menyiram, merawat, dan merapikan tanaman.
Jadi, kunci dasarnya ada di hati manusia di sekitar halaman. Kalau hatinya penuh cinta, maka alam sekitar pun tumbuh dan memakmurkan lingkungan sekitarnya dengan cinta pula.
Alam memberikan respon positif jika manusia di sekitarnya baik. Mulai dari tumbuhan, hewan, bahkan udara. Dan sehatnya udara akan mendatangkan cuaca yang nyaman: panas yang tidak terlalu, dan hujan yang datang dengan rutin.
Inilah mungkin, wallahu a’lam, shalat menjadi solusi dari berbagai problem. Mulai dari diri sendiri, keluarga, lingkungan, bahkan alam.
Allah subhanahu wata’ala berfirman, “Dan mintalah pertolongan (kepada Allah) melalui sabar dan shalat…” (QS. Al-Baqarah: 45)
Baik sabar dan shalat, arah perbaikannya tertuju pada hati dan jiwa kita. Dengan kata lain, pangkal dari semua masalah itu ada pada hati dan jiwa manusia di sekitarnya.
Tentang masalah yang ada pada alam, Allah subhanahu wata’ala juga mengajarkan kita untuk menggunakan shalat sebagai washilah atau perantara untuk meminta pertolongan dari Allah. Antara lain tentang masalah tidak turunnya hujan.
Tanpa air, alam akan kering dan gersang. Kalau tumbuhan mati, maka begitu pun dengan makhluk hidup di sekitarnya: hewan dan juga manusia.
Allah subhanahu wata’ala berkehendak untuk menahan atau menurunkan hujan. Karena dengan cara shalat Istisqa itulah kita meminta kepada Allah untuk diturunkan hujan.
Sebagian orang mungkin mencari-cari nalar atau logika hubungan hujan dengan shalat Istisqa. Kalau mau dilogikakan, maka jawabannya sederhana.
Karena semua di alam raya ini terhubung dalam Rahmat Allah subhanahu wata’ala. Dalam kasih dan sayang Allah subhanahu wata’ala. Begitu pun rahmat yang menyinari hati manusia.
Tanpa Rahmat Allah, hati manusia menjadi gersang dan mati. Hati yang gersang dan mati akan menjadikan manusia tak peduli dengan lingkungan: tak merasa perlu menjaga air, abai dengan hak tumbuhan, hewan, dan udara. Dari situlah udara menjadi panas dan tak turun hujan.
Lingkungan atau ekosistem yang sehat akan menjadikan udara menjadi seimbang dan sehat. Udara pun menjadi seimbang. Dan akhirnya hujan akan turun secukupnya.
Maha Benar Allah dalam firman-Nya, “Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik untuk dirimu sendiri. Dan jika kamu berbuat jahat, maka (kerugian kejahatan) itu untuk dirimu sendiri…” (QS. Al-Isra: 7)
Perhatikanlah esensi dari shalat Istisqa. Selain meminta pertolongan dari Allah subhanahu wata’ala, juga sebagai sarana untuk menyehatkan kembali hati yang sakit dan rusak.
Jika hati sakit dan rusak, jangankan keinginan untuk memelihara dan merawat alam, memelihara dan merawat diri sendiri pun akan abai begitu saja.
Jadi, jika ingin hujan turun, air berlimpah, pepohonan subur dan hijau; subur dan hijaukan dahulu hati kita dengan taubat dan zikrullah. [Mh]