ChanelMuslim.com- Syukur secara bahasa artinya terima kasih. Sebuah ungkapan pengakuan bahwa yang diperolehnya itu dari yang ngasih. Walaupun itu seolah jerih payahnya. Walaupun itu ia dapat dari usahanya sendiri.
Sementara kufur sebaliknya. Secara bahasa kufur artinya menutup peran pihak lain. Tak ada pengakuan sedikit pun bahwa yang diperolehnya itu dari yang ngasih. Melainkan, sebuah konsekuensi logis dari kerja keras. Atau, dianggap sebagai peristiwa alam yang kebetulan.
Jadi, dengan nikmat yang sama, responnya bisa dua sisi yang bertolak belakang. Dengan sepotong roti yang sama, dua respon berbeda. Satu merespon sebagai anugerah, walaupun itu ia beli dari uang di kantongnya sendiri. Satunya lagi, menganggapnya sebagai kewajaran. Kalau punya uang bisa makan roti, nggak punya uang ya nggak bisa makan apa-apa.
Jadi, syukur bisa melipatgandakan nilai sebuah anugerah. Pertama, bendanya itu sendiri. Kedua, keakraban dengan yang ngasih. Ketiga, penghormatan dan kepuasan terhadap nilai anugerah yang diterima. Meskipun di bawah ekspektasi.
Poin yang ketiga tadi disebut sebagai ridha. Yaitu adanya kepuasan dan kenyamanan hati terhadap yang diterima. Besar atau kecil. Banyak atau sedikit. Hal ini bukan karena unsur anugerahnya. Bukan nilai bendanya. Melainkan karena sosok yang ngasihnya. Bahwa, semua pemberiannya selalu mengandung kebaikan.
Nilai lain dari syukur adalah rasa tanggung jawab terhadap anugerah itu. Bukan soal benda yang diterima. Tapi karena siapa yang ngasih. Menghormati nilai dari benda yang diterima meskipun tampak biasa saja adalah sama dengan penghormatan terhadap yang ngasih.
Dari sudut pandang ini, kayaknya nggak mungkin ada rasa syukur kalau nggak kenal dengan siapa yang ngasih. Karena nggak kenal berarti nggak dekat. Dan yang nggak dekat, nggak mungkin ada penghormatan dan cinta.
Seorang ahli hikmah pernah merasa takjub dengan yang ia temukan dari seorang miskin pengelana. Ia terlihat duduk di bawah teduhnya atap depan sebuah rumah yang ia singgahi. Sebuah makanan dan minuman ia keluarkan dari balik tas kumalnya.
Makanan itu ternyata roti kering dan tampak sudah keras. Ia tuangkan air ke sebuah wadah ala kadarnya. Roti keras itu pun ia rendam di air itu. Setelah tampak lembek, ia gigit roti itu. Ia kunyah dan sesekali didorong dengan seruputan air dari wadah tadi.
Beberapa saat kemudian, orang itu menengadah ke langit. Ia ucapkan kalimat luar biasa. “Ya Allah, Yang Maha Kasih dan Sayang. Kau telah limpahkan kepada hambaMu ini nikmat yang luar biasa. Alhamdulillah!”
Ahli hikmah itu tertegun dengan pemandangan itu. Ada orang miskin dengan bekal seadanya. Duduk di emperan rumah yang bukan miliknya. Menutupi lapar dan dahaganya dengan roti keras yang direndam air biasa. Tapi, ia mengucapkan syukur dengan cara yang luar biasa.
Silakan cerminkan diri kita dengan entah berapa anugerah yang telah kita terima. Tempat tinggal yang memadai. Makanan dan minuman yang selalu tersedia. Busana yang bisa dipilih dan dipilah. Kendaraan yang lumayan ada.
Di saat sebagian orang bingung apa lagi yang bisa dimakan, kita juga bingung besok mau makan apa. Bukan karena makanannya nggak ada. Tapi karena bosan makanan yang itu-itu aja. Ingin mencari makanan yang baru dan belum pernah dicoba.
Kita kerap lupa begitu banyak nikmat luar biasa yang ternikmati tanpa terasa. Udara yang bebas kita hirup tanpa batas. Air yang diminum, dipakai untuk mencuci, mandi, dan lainnya. Makanan entah berapa rupa. Semua bisa dinikmati tanpa biaya.
Mungkin kita protes karena ikan yang dinikmati dibeli dengan harga tinggi. Padahal, harga tinggi itu bukan untuk ikannya. Tapi biaya ongkos nelayan, biaya angkutan untuk sampai ke pasar, dan biaya untuk para pedagang.
Anugerah dan nikmat itu jauh lebih bernilai bukan karena mutu bendanya. Tapi karena adanya getaran bahwa yang memberikan itu bukan sosok biasa. Ia adalah Yang Maha Sayang dan Pencinta. Yang Kekayaannya meliputi seluruh alam raya.
“Alhamdulillah… Terima kasih Ya Allah. Kau pilih hambaMu ini sebagai salah satu dari sekian milyar manusia yang bisa menikmati anugerahMu. Alhamdulillah!” (Mh)