NASIHAT bukan hanya untuk orang biasa. Bahkan orang alim pun butuh nasihat.
Di masa Bani Israil, ada seorang alim, abid, dan faqih yang ditinggal mati istrinya. Padahal, istrinya begitu sangat ia cintai, seolah keindahan dunia ini seratus persen ada pada istrinya. Ketika istrinya mati, dunia pun tak menarik lagi.
Ia begitu bersedih. Semangat hidup serasa pergi begitu saja. Nyaris, tak ada sesuatu pun di dunia ini yang menarik untuk ia kerjakan lagi.
Sang alim tak lagi pernah keluar rumah. Pintu rumahnya selalu terkunci. Hari-hari ia lalui hanya untuk mengurung diri.
Masalahnya, siapa yang bisa menasihati seorang alim sekaliber dia. Ilmunya begitu luar biasa. Sehingga, orang-orang hanya bisa pasrah dan berharap suatu saat sang alim akan tersadar dengan sendirinya.
Di tengah kevakuman itu, ada seorang ibu cerdik yang mendatangi rumah sang alim yang tengah dirundung duka itu.
Ia mengetuk pintu, mengucapkan salam, hingga memanggil-manggil sang alim. Tapi, pintu rumah itu tak kunjung dibuka pemiliknya.
Orang-orang yang tinggal di sekitar rumah itu sudah menjelaskan kalau pemilik rumah sedang berduka. “Ada keperluan apa? Nanti akan kami sampaikan ke beliau,” ucap mereka.
“Maaf, saya harus bicara langsung. Masalah ini tidak bisa saya sampaikan ke orang lain kecuali kepadanya,” jelas sang ibu.
Suara itu terdengar oleh si alim dari dalam rumah. Karena si ibu itu mendesak untuk bisa bertemu, akhirnya ia bersuara, “Biarkan si ibu itu masuk!”
Pintu rumah pun dibuka. Si ibu akhirnya dipersilakan masuk dan bertemu dengan si alim.
“Ada apa? Apa yang ingin kau utarakan kepadaku?” tanya si alim.
“Saya ingin mendapatkan fatwa dari Anda tentang masalah yang saya hadapi,” ucapnya.
“Silakan sampaikan,” ujar si alim.
Si ibu itu menceritakan. Ia pernah dititipkan sebuah perhiasan oleh seseorang. Perhiasan itu ia pakai untuk waktu yang lama. Tanpa terasa, ia begitu sayang dan jatuh cinta dengan perhiasan itu.
“Suatu kali, si pemilik perhiasan meminta. Tentu saja, saya tidak rela melepas perhiasan itu. Bagaimana menurut Anda?” tanya si ibu.
“Wahai ibu, apa pun yang orang titipkan itu bukan milik kita. Dan kita harus rela mengembalikannya jika diminta,” ungkap si alim.
“Apa pun?” tanya si ibu itu lagi.
“Ya. Apa pun itu!” tegas si alim.
“Bagaimana jika Allah menitipkan sesuatu kepada kita, apakah kita juga harus rela melepasnya jika Allah mengambilnya?” tanya balik si ibu.
Tiba-tiba si alim terdiam. Ia pun mengangguk-angguk pelan. Saat itu, akhirnya ia tersadar dengan kekhilafannya selama ini.
**
Siapa pun butuh nasihat. Bahkan seorang alim sekali pun. Hanya mungkin caranya yang arif dan bijaksana.
Allah subhanahu wata’ala berfirman, “Dan tetaplah untuk memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat untuk orang-orang yang beriman.” (QS. Az-Zariyat: 55) [Mh]