BURUNG gagak warnanya hitam. Suaranya parau. Penampilannya menakutkan. Ia kecewa kenapa semua yang buruk ada padanya.
Suatu hari, seekor burung gagak tampak bersedih. Ia begitu menyesali nasib kenapa dirinya seburuk itu. Ia menangis.
Ada orang bijak yang kebetulan lewat dan mendengar tangisan itu. Orang bijak itu bertanya ke burung gagak, “Apa yang membuat dirimu begitu bersedih?”
Burung gagak pun beranjak menghampiri orang yang sudah ia kenal baik itu. “Aku kecewa kenapa aku seperti ini! Karena itu, tak banyak manusia yang mau mendekatiku!” jawabnya.
Orang bijak tertegun sejenak. “Jadi kamu mau jadi seperti siapa?” tanyanya kepada burung gagak.
“Andai aku bisa seperti angsa. Warnanya putih bersih, gerakannya begitu anggun,” jawabnya.
Orang bijak pun meminta burung gagak untuk memastikan ke angsa, apakah ia juga bersedih atau bahagia.
“Baiklah!” ujar gagak. Ia pun terbang mencari angsa yang mau berbagi rasa.
Seekor angsa sedang berada di tepian danau kecil. Gagak pun mendekatinya.
“Wahai angsa, sepertinya kamu begitu bahagia dengan warna tubuhmu yang putih bersih. Karena dengan begitu kamu terlihat sangat anggun,” ucap gagak memulai pembicaraan.
“Kamu salah, gagak. Aku sebenarnya bosan dengan warna yang ini-ini saja. Andai aku bisa seperti burung nuri. Tubuhnya berwarna-warni. Barang manusia yang menyukainya,” ungkap angsa.
Menangkap rasa kecewa angsa, gagak pun terbang mencari burung nuri. Ia ingin mendapati cerita bahagia dengan warna-warni di tubuhnya.
Setelah terbang kesana-kemari, gagak mendapati burung nuri. Tapi, ia mendapati burung cantik itu juga tidak terlihat bahagia.
“Wahai nuri, indahnya bulu-bulumu yang warna-warni. Kamu tentu sangat bahagia seperti itu,” ucap gagak ketika berada di dekat nuri.
Tapi, yang dipuji-puji itu tampaknya merasa biasa saja. Nuri sepertinya juga tidak bahagia.
“Wahai gagak, kamu salah. Aku tidak sebahagia yang kamu lihat. Aku memang disukai manusia, tapi aku hanya tinggal di kandang kecil ini. Ada yang jauh lebih cantik dariku dan banyak manusia yang memuji-muji keindahan warnanya,” jelas nuri tampak kurang bahagia.
“Siapa sosok yang beruntung itu?” sergah gagak.
“Ia burung merak. Keindahan warna-warni bulunya begitu mempesona. Pergilah ke kebun binatang, kamu akan menemukan burung merak yang ditonton banyak manusia,” ungkap nuri.
Gagak terbang menuju kebun binatang. Ia melihat burung merak yang memang begitu cantik. Warna-warni bulu di tubuhnya jauh lebih indah dari nuri. Kandang tempat tinggalnya juga jauh lebih besar.
Satu lagi, begitu banyak manusia yang memuji-muji dan menyukainya.
“Wahai merak, betapa beruntungnya kamu. Kamu pasti bahagia. Warna-warni bulu di tubuhmu begitu indah. Tidak heran jika begitu banyak manusia yang menyukaimu,” ucap gagak ketika berada di sekitar kandang merak.
“Kamu salah, gagak!” ucap merak spontan.
“Kenapa bisa? Lihatlah begitu banyak manusia yang menonton dan memuji-muji keindahanmu!” jelas gagak.
“Ya, mereka memang memuji-mujiku. Warna-warni buluku memang indah. Tapi…,” ucap merak terputus.
“Tapi apa?” sahut gagak.
“Perhatikanlah diriku yang terkurung dalam kandang besar. Aku tidak bebas sepertimu, yang bisa pergi kemana pun yang kamu suka,” ucap merak mengungkapkan kesedihannya.
Gagak pun terdiam mendengar penuturan itu. Ia memang hitam kelam, bersuara parau, dan tampang yang menakutkan.
Namun, justru karena itulah dirinya bisa bebas karena tak ada manusia yang mau mengurungnya.
Akhirnya, burung gagak terbang kembali ke orang bijak. Burung yang disimbolkan horor ini mengatakan, “Ternyata aku salah menyikapi keadaan diriku. Aku harusnya paling bahagia, bukan bersedih dan menyesali nasib!”
**
Kadang rasa bahagia dan duka itu tak lebih dari sebuah jebakan persepsi yang sempit melihat keadaan diri. Boleh jadi, sisi positif yang kita miliki jauh lebih banyak yang dimiliki orang lain.
Berbaik sangkalah dengan apa pun yang Allah anugerahkan untuk kita. Karena dengan begitulah, kita akan menjadi orang yang paling bahagia di dunia. [Mh]