CINTA pada Allah segalanya. Cinta pada aksesoris duniawi sekadarnya saja.
Suatu hari, orang ramai berkumpul di sepanjang jalan di Bagdad. Mereka ingin menyambut kedatangan seorang imam besar.
Di tengah gegap gempita orang banyak di luar, ada seorang nenek yang melongok dari balik jendela. Ia terheran kenapa begitu banyak orang berkumpul di sepanjang jalan.
“Ada apa?” ucapnya kepada seseorang.
“Imam Ar-Razi akan tiba ke sini!” jawab orang itu.
Si nenek bertanya lagi, “Siapa Imam Ar-Razi?”
Orang itu menjelaskan, “Beliau adalah imam yang menyusun seribu dalil tentang tauhid Allah subhanahu wata’ala.”
Di luar dugaan, nenek itu tertawa. “Kenapa tertawa, Nek?” tanya orang itu heran.
“Kalau ia membuat seribu dalil tentang tauhid, berarti ada seribu keraguan tentang tauhid pada dirinya,” ungkap si nenek yang menyentak kesadaran orang itu.
Ucapan nenek ini akhirnya sampai ke telinga Imam Fakhruddin Ar-Razi. Imam yang memiliki julukan Sulthanul Mutakallimin (pakar ilmu kalam) ini langsung menengadahkan tangannya ke langit.
Ia berdoa, “Semoga Allah menganugerahkanku iman yang sempurna.”
Ulama yang lahir di tahun 1150 masehi ini memahami betul apa yang diucapkan si nenek. Bahwa, keimanan bukan sekadar pada rasionalitas saja, bukan pada apa yang diketahui saja. Tapi juga pada kecintaan yang mendalam kepada Allah subhanahu wata’ala.
Imam Fakhruddin Ar-Razi merupakan pakar di bidang fikih, hadis, filsafat, astronomi, fisika, matematika, dan logika. Pria kelahiran Iran ini wafat di wilayah Afghanistan pada usia 60 tahun.
**
Orang akan menyebut sesuatu yang paling ia cintai saat sakaratul maut datang. Apa saja: keluarga, atasan, kekasih, kekayaan, bahkan hewan peliharaan.
Berhati-hatilah meletakkan cinta yang paling puncak dari segala cinta. Karena hal itulah yang akan disebut-sebut di saat genting itu.
Tidak heran jika Allah menjelaskan dalam firman-Nya, “Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah. Mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Ada pun orang-orang beriman amat sangat cintanya kepada Allah…” (QS. Al-Baqarah: 165)
Cinta tentu bukan tentang apa yang diketahui, dihafal, dan diucapkan. Tapi, apa yang dilakukan dan dibuktikan. [Mh]