ALLAH menciptakan alam raya dengan prinsip keseimbangan. Ada siang, ada malam. Ada duka, ada bahagia. Ada laki, ada perempuan. Ada muda, ada tua. Ada dosa, ada pahala. Dan seterusnya.
Ada pertanyaan, kenapa orang bisa bahagia, dan kenapa orang bisa sedih. Jawaban menurut teori keseimbangan kira-kira: jika selisih duka dan senangnya sama dengan nol. Jika senangnya lebih dari nol, maka akan bahagia sekali.
Artinya, bahagia itu relatif untuk setiap orang. Tidak mesti yang uangnya banyak selalu bahagia. Sebaliknya, tidak mesti juga yang uangnya sedikit selalu berduka.
Untuk sebagian orang, penghasilan dua juta rupiah per bulan, sudah menunjukkan bahagia. Tapi untuk sebagian yang lain, penghasilan 200 juta per bulan masih disebut duka. Hal ini karena level keseimbanganya lebih dari nilai 200 juta itu.
Tentu, Allah subhanahu wata’ala tidak akan memasukkan level bahagia 2 juta ke level duka 200 juta. Hal ini karena kemampuan beban atau titik imbangnya berbeda.
Allah subhanahu wata’ala berfirman, “Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai kesanggupannya…” (QS. Al-Baqarah: 286)
Allah tidak membebani level nabi dan rasul ke level mukmin pada umumnya. Begitu pun sebaliknya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memiliki 7 anak. Dan, 6 di antaranya wafat sebelum beliau wafat.
Bayangkan, siapa di antara umat Islam umumnya yang mampu dengan beban ujian seperti itu. Satu per satu buah hatinya wafat, bahkan hingga enam kali kejadian.
Itu baru satu sisi kehidupan. Masih banyak sisi lain yang juga bergerak mengikuti alur kehidupan. Ada pengusiran dari kampung halaman, ada upaya-upaya pembunuhan, ada penyerangan dari banyak negeri, ujian keluarga, ujian ekonomi, dan lainnya.
Jadi, bahagia itu bukan karena banyak uang. Bukan juga karena punya jabatan tinggi. Melainkan karena Allah memberikan kita keseimbangan yang sempurna.
Persis seperti orang yang terbangun dari tidur di pagi hari setelah melalui masa tidur yang memadai. Atau, menikmati makanan setelah sebelumnya kelaparan. Atau, suami istri yang terpuaskan dengan hubungan intim mereka. Atau, seseorang yang keluar dari toilet dengan proses yang sangat lancar.
Keseimbangan yang sempurna lebih dari itu diperoleh dari hati yang ‘cerdas’. Yaitu, hati yang mendapatkan hidayah dari Allah subhanahu wata’ala. Jika mendapat kesenangan bersyukur dan mendapat kesusahan bersabar.
Inilah hati yang titik keseimbangannya tumbuh secara otomatis. Karena sikap syukur dan sabar, keduanya selalu membuat orang tetap bahagia. [Mh]