ChanelMuslim.com- Hidup ini untuk ibadah. Ibarat petani yang mengelola lahan, kerja kerasnya akan dibayar dengan panen berlimpah. Dan panennya ibadah adalah berlimpahnya pahala.
Dosa dan pahala adalah dua titik yang berlawanan. Satu berada di ujung paling kiri. Satunya lagi berada di ujung paling kanan.
Hidup ini merupakan ujian seberapa minim dosa yang dilakukan. Dan, seberapa besar pahala yang berhasil dikumpulkan.
Kalau mau hitung-hitungan ideal, yang paling bagus adalah minim dosa dan maksimal pahala. Dan yang paling parah adalah minim pahala dan maksimal dosa.
Nabi mencontohkan untuk bersungguh-sungguh meraih pahala sebanyak-banyaknya. Dan tentu saja, meminimalisir dosa semampunya.
Namun, bagaimana jika berada pada keadaan standar. Mau mengejar pahala tidak banyak ilmu dan sarana. Sementara kepungan dosa begitu dahsyat.
Jika dalam keadaan seperti itu, yang paling urgen adalah menghindari dosa semampu mungkin sebelum meraih pahala sebanyak mungkin.
Nalar ini mungkin sejalan dengan firman Allah subhanahu wata’ala dalam Surah Al-Baqarah ayat 264. “Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu rusak (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebut pemberian dan menyakiti (si penerima)….”
Sedekah itu memiliki nilai pahala yang luar biasa. Jauh melampaui pahala ibadah dengan modal tenaga. Karena siapa pun bisa berkorban dengan tenaga, tapi tidak semua orang bisa berkorban dengan harta.
Ayat di atas seperti mengingatkan kita bahwa apalah artinya sedekah yang banyak jika diiringi dengan perbuatan dosa di sedekah itu.
Hal serupa juga bisa diterapkan dalam amal lain yang mengandung pahala besar. Seperti haji dan umrahnya misalnya. Pahalanya begitu besar, tapi hal itu akan sia-sia jika dilakukan bukan karena Allah. Melainkan, karena ingin memperoleh pujian dan pencitraan terhadap manusia.
Para orang tua generasi tahun enam puluhan kerap memberikan nasihat. Usahakan untuk sedikit dosa, daripada mengejar pahala.
Hal ini karena pada generasi mereka, ilmu pengetahuan masih sangat terbatas. Terlebih lagi ilmu tentang agama. Yang mereka tahu hanya pengetahuan standar, seperti shalat, puasa, zakat, dan haji.
Begitu pun dengan sarana. Generasi saat itu memang minim sarana. Harta hanya pas untuk makan dan minum. Tidak cukup untuk membangun masjid, tidak mampu bersedekah kepada banyak dhuafa, apalagi bolak-balik ke tanah suci.
Dalam keadaan itu, yang bisa mereka lakukan adalah meminimalisir dosa. Apa pun bentuknya. Sementara, pahala yang bisa mereka raih hanyalah pahala dari amalan biasa yang rutin.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah memberikan nasihat kepada para dhuafa yang ingin meraih pahala. Kata Nabi, bukankah tahlil itu sedekah, tahmid itu sedekah, dakwah itu sedekah, dan menghindarkan duri di jalan pun sedekah.
Jadi, raihlah pahala dari apa yang bisa dilakukan. Tapi sebelum itu, hindari segala dosa dari hal apa pun yang mungkin muncul. Apalah arti amalan besar jika bersamaan dengan itu juga dilakukan dosa yang besar. [Mh]