ChanelMuslim.com- Hidup itu ujian. Ada yang susah, ada juga yang senang. Kalau boleh memilih, mau ujian hidup susah atau senang?
Kalau saja ada kuesioner yang menanyakan soal pilihan hidup sebelum kita hidup. Misalnya, manakah yang akan Anda pilih: hidup susah atau senang? Tentu, bisa dibilang, semua kita akan pilih hidup senang. Ngapain milih hidup susah?
Inilah di antara alasannya. Bukankah kalau hidup senang, kita bisa ibadah dengan sarana memadai. Kita bisa ke masjid tanpa kehujanan. Bisa pergi ngaji tanpa berangin-angin dengan sepeda motor atau suasana sumpek di kendaraan umum.
Kita juga bisa menutup aurat dengan busana terbaik. Tanpa takut dilecehkan karena ketinggalan zaman atau bingung pakaian ganti karena stok yang terbatas. Saat di lokasi tempat ibadah, busana kita pun masih bersih, wangi, dan rapi, karena tidak berdesak-desakan di kendaraan umum. Atau, terciprat air becek dan tersembur asap knalpot kendaraan umum karena mengendarai sepeda motor.
Kita pun bisa mondar-mandir ke tanah suci tanpa bingung soal biaya. Bisa i’tikaf sepuluh malam terakhir Ramadan di dekat Ka’bah. Bisa ziarah ke makam Rasul kapan pun kita mau.
Kita juga bisa bangun masjid tanpa minta sumbangan ke warga. Kita bisa membiayai anak-anak fakir miskin untuk tetap sekolah. Kita bisa bangun sekolah Islam dan gratis untuk semua siswa. Waduh, gede amat pahala yang kita dapat kalau bisa lakukan itu.
Namun, benarkah akan seperti itu kalau rezeki berlimpah di tangan kita? Kayaknya nggak juga. Kalau sebatas imajinasi, semua orang akan berencana seperti itu. Tapi ketika itu nyata, fakta bisa bicara sebaliknya tentang kita.
Seorang sahabat hebat seperti Abdurrahman bin Auf radhiyallahu ‘anhu pernah merasakan itu. Sahabat Nabi super kaya ini pernah risau dengan kekayaannya. Karena orang-orang terpuji di zamannya justru dari kalangan sederhana.
Ia bercermin dengan Mush’ab bin Umair radhiyallahu ‘anhu yang syahid dengan kain penutup jasad ala kadarnya. Ditutup wajahnya, kakinya terlihat. Ditutup kakinya, wajahnya terbuka. Begitu pun dengan sayyidus shuhada seperti Hamzah bin Abdul Muthalib radhiyallahu ‘anhu.
Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri hidupnya begitu sederhana. Tinggal di rumah sangat sederhana. Dan wafatnya pun di rumah yang juga sederhana.
Sahabat yang wafatnya mewariskan jutaan dinar emas ini juga pernah risau dengan sabda Nabi bahwa Allah subhanahu wata’ala mengakhirkan masuk surga untuk mereka yang kaya. Bahkan, lima ratus tahun lamanya daripada orang miskin.
Kalau bisa memilih, saat itu juga, ia ingin spontan menjadi orang miskin. Tapi Nabi menahannya untuk tetap bersabar dalam kekayaan.
Sebuah riwayat menyebut bahwa Abdurrahman bin Auf pernah memborong kurma busuk warga Madinah karena kurma-kurma itu terlantar ditinggal pemiliknya demi jihad Perang Tabuk. Ia ingin membahagiakan warga Madinah yang baru saja pulang dari jihad di lokasi yang jauh itu.
Ketika banyak orang heran dengan pilihan Abdurrahman bin Auf itu, dengan ringan ia ungkapkan bahwa itu bukan strategi bisnis. Tapi karena pilihannya untuk menjadi warga miskin.
Sayangnya, pilihan itu tidak terkabul. Di luar perkiraannya, banyak saudagar asal Yaman yang mencari-cari kurma busuk Madinah. Karena hal itu bisa menyembuhkan suatu penyakit yang tengah mewabah di sana.
Abdurrahman bin Auf menolak menjual kurma itu karena ia sudah merasa nyaman dengan uangnya yang habis. Tapi hal itu justru dipahami para saudagar Yaman sebagai tawar menawar dagang. Mereka memaksa untuk membeli kurma-kurma itu dengan harga tiga kali lipat dari harga kurma normal.
Karena kebutuhan kemanusiaan, Abdurrahman bin Auf tidak kuasa menolak tawaran itu. Alih-alih bisa menjadi miskin, justru hartanya bertambah tiga kali lipat.
Kisah ini memang ada kontroversi dari segi periwayatan, tapi setidaknya bisa menjadi gambaran sederhana betapa para sahabat Nabi radhiyallahu ‘anhum lebih memilih miskin daripada kaya. Kenapa?
Karena mereka paham betul bahwa beban kaya itu sangat berat daripada beban miskin. Dan mereka juga paham kalau hisab orang kaya begitu lama hingga ratusan tahun selisihnya daripada orang miskin. Mereka juga khawatir kalau kekayaan itu sebagai balasan Allah yang disegerakan di dunia, sementara di akhirat mereka tidak memperoleh apa-apa.
Kita memang bukan sahabat mulia. Kita bukan Abdurrahman bin Auf. Kita hanya seorang muslim biasa.
Tapi sayangnya, kita menjadi jauh lebih berani untuk memilih ujian kaya daripada mereka. Kita berani bukan karena yakin bisa amanah. Tapi boleh jadi karena kebodohan kita. (Mh)