AKHIRNYA Ramadan berada di penghujung senja. Bulan baru pun akan mengganti jejak tentang keberkahannya. Jejak yang masih berbekas di lekukan bulu-bulu sajadah.
Seorang hamba Allah tampak mulai merapikan posisi duduknya di sebuah sajadah. Kepalanya tertunduk sebentar sebelum akhirnya ia menengadah seraya mengangkat kedua tangannya.
“Ya Allah, Ya Rahman, Ya Rahim,” ucapnya lirih.
“Aku malu mengungkapkan apa yang telah kulakukan selama bulan muliaMu, Ramadan,” lanjutnya.
“Ibadahku tak seberapa. Shalatku hanya sekadar saja. Tilawahku tak seperti kekasih-kekasihMu sebelum ini,” ungkapnya.
“Begitu pun dengan zikirku. Tak lebih dari hanya sambil lalu….”
“Ya Allah, Ya Rahman, Ya Rahim,” ucapnya lagi. Kali ini, air matanya mulai berlinang.
“Sekiranya Kau cabut nyawaku malam ini, nyaris tak ada satu pun baktiku padaMu yang bisa kubanggakan,” kata-katanya mulai bergantian dengan suara tangis sesegukan.
“Ya Allah, Ya Rahman, Ya Rahim….,” ucapnya bercampur suara tangis yang tak lagi tertahan.
“Mohon terimalah percikan bakti hambaMu yang dhaif ini. Ampuni kelalaian kami, sayangi kami, duhai Yang Maha belas kasih. Duhai yang sayangNya tak terbilang, meliputi segenap penjuru ufuk alam raya,” terdengar kata-katanya yang mulai lancar.
“Ya Allah, perkenankan kami untuk bisa berjumpa lagi dengan RamadanMu nanti. Mudahkan kami untuk bisa memperbaiki diri ini, agar Ramadan kami nanti bisa lebih baik dari saat ini,” suaranya kembali lirih.
“Ya Allah, Ya Rahman, Ya Rahiim. Perkenankan permohonan kami…,” ucapnya sambil akhirnya kembali dalam isakan tangis.
Malam pun terus larut menuju keheningan sempurna. Sayup-sayup terdengar suara kumandang takbir dari kejauhan.
Hanya suara asma Allah itu yang kini menghantarkan hari baru di fajar esok. Suara yang terdengar sayup-sayup kecil, tapi begitu besar di hati. [Mh]