ALKISAH ada orang kaya yang ingin hidup sederhana. Ia ingin agar orang lebih memperhatikan dirinya daripada kekayaannya.
Suatu hari, sebuah undangan pesta datang dari seorang tokoh di lingkungan rumahnya. Jamuannya serba wah, hiasan tempat pesta pun dirancang sedemikian rupa untuk menunjukkan kelas si empunya pesta.
Orang kaya yang sederhana ini pun hadir. Ia datang hanya berjalan kaki, dengan penampilan seperti biasa yang serba sangat sederhana.
Sambutan tidak ia rasakan ketika kehadirannya berada di sekitaran parkir mobil. Ia terus berjalan menuju ruangan dalam.
Di sebuah pintu gerbang yang terhias indah, sang tuan rumah menyambut hangat tamu-tamunya. Tapi tidak begitu terhadap orang sederhana ini. Ia dibiarkan masuk begitu saja.
Begitu pun di sebuah ruangan jamuan makan. Tak seorang pun dari tuan rumah atau keluarganya yang mempersilahkannya makan atau minum.
Sesaat kemudian ia seperti menyadari sesuatu. “Mungkin saya harus ganti baju dan membawa kendaraan yang ada di rumah saya,” ujarnya dalam hati. Ia pun bergegas kembali pulang.
Kali ini ia datang dengan kendaraan mewah dan jas mahal koleksinya. Tidak ia sendiri yang menyetir, tapi seorang sopirnya yang juga membukakan pintu saat tiba di parkiran tempat pesta.
Baru saja menginjakkan kaki di beranda depan, sejumlah orang sudah menyambutnya dengan antusias. Ada yang menyalaminya dan ada yang sekadar melambaikan tangan dengan senyum manis.
Di pintu gerbang, tuan rumah menyambutnya dengan hangat. Ia bukan hanya disalami, tapi dipeluk dan dibimbing menuju lokasi jamuan makan.
Saat akan makan itu, ia hanya memasukkan makanan ke saku jas mahalnya. Bukan ke mulutnya. “Ah, jas inilah yang lebih pantas untuk makan,” ucapnya yang disorot pandangan orang-orang sekitar termasuk tuan rumah.
Ia pun mengambil minuman. Hal yang sama ia lakukan seperti terhadap makanan tadi. Jasnya penuh dengan makanan dan minuman.
Tidak cukup sampai di situ, ia pun membawa sebagian makanan dan minuman ke lokasi mobilnya. Ia pun seperti mempersilahkan mobil mewahnya untuk memakan dan meminumnya.
Tuan rumah pun bertanya, “Apa yang Anda lakukan?”
“Ketika saya datang dengan tanpa busana ini dan mobil ini, tak ada yang mempersilahkan saya makan dan minum. Tapi ketika saya mengenakan baju dan menumpang mobil ini, kalian mempersilahkan saya.
“Karena itu, baju dan mobil inilah yang lebih berhak memakan hidangan kalian daripada saya,” pungkasnya.
Sang tuan dan orang-orang di sekitar akhirnya menyadari sesuatu.
**
Aksesoris dunia ternyata selalu menjadi hitungan utama. Orang seolah menjadi mulia karena hiasan aksesoris itu, dan seperti sangat hina ketika tanpa itu.
Padahal, aksesoris itu hanya benda mati yang tidak menunjukkan apa-apa. Kemuliaan seseorang bukan pada aksesoris di sekelilingnya, tapi pada kualitas dirinya sendiri.
Sayangnya, orang banyak lebih memperhatikan apa yang ‘mati’ daripada menilai apa yang ‘hidup’. [Mh]