Bu Iyem (bukan nama sebenarnya) kadang bingung apakah ia menjadi ibu yang beruntung atau malang. Antara sebagai seorang ibu atau pembantu.
Setelah suaminya meninggal dunia, Bu Iyem hidup seperti sebatang kara di kampung. Memang ada tetangga kanan dan kiri. Tapi, hidup tidak bersama keluarga serasa seperti ada yang hilang. Sepi.
Bu Iyem masih dibilang beruntung. Karena masih ada anak lelakinya yang sudah dewasa. Ia tinggal di kota, dan sudah berkeluarga.
Sebenarnya anak lelaki Bu Iyem itu bukan anak tunggal. Dua kakaknya wafat sebelum si bungsu itu kuliah di kota. Kini, ia tinggal bersama istri dan anaknya yang masih balita.
Bu Iyem diajak sang anak ikut tinggal di kota. Maksudnya baik, agar Bu Iyem tidak sendirian dan bisa terjamin segala kebutuhan hidupnya.
Awalnya Bu Iyem merasa berat. Suasana desa yang telah ia alami sejak lahir, rasanya berat untuk ditinggalkan begitu saja.
Tapi, ia butuh tempat untuk bernaung. Ya sebuah keluarga yang bisa menyuburkan rasa cinta seorang ibu pada anaknya.
Bu Iyem pun akhirnya ikut puteranya tinggal di kota. Di situ ada menantu dan cucunya yang masih balita. Perempuan dan lucu.
Tinggal di kota tidak seperti di desa yang akrab antar tetangga. Meski rumahnya tidak saling berjauhan, tapi pagar tembok dan besi menjadi pemisah kedekatan antar tetangga. Mereka hanya bertemu kalau kebetulan saja.
Bisa dibilang, kehadiran Bu Iyem sangat pas dengan kebutuhan anak dan menantunya. Keduanya bekerja sementara si kecil ditinggal bersama baby sitter. Tapi sejak Bu Iyem ada, baby sitter sudah dirumahkan.
Apa tidak ada pembantu rumah tanggal yang lain? Awalnya juga pernah ada. Tapi, pembantu yang tinggal di rumah itu tidak kerasan. Banyak peraturan katanya. Tidak boleh ada televisi, tidak boleh ‘main hape’ kecuali sangat penting, dan lainnya.
Jadi, selama anak dan menantunya bekerja, Bu Iyem praktis hanya tinggal bersama cucunya di rumah anaknya.
Lalu, siapa yang mencuci piring, cuci baju, menyapu, mengepel, dan beres-beres? Awalnya hal itu dilakukan bersama: anak, menantu, dan juga Bu Iyem.
Tapi belakangan, hal itu tidak terjadi lagi. Hal ini karena keduanya sangat sibuk. Jam enam pagi sudah berkemas-kemas, dan seringnya pulang sudah lewat Isya. Sisa waktu itu hanya bisa digunakan untuk kangen-kangenan dengan putrinya.
Selain itu, Bu Iyem pun merasa tak perlu ada pembantu. Toh baju dan piring yang dicuci juga sedikit, lantai yang harus disapu dan dipel pun masih terlihat bersih. Rasanya nggak berat-berat amat.
Semua bisa dilakukan Bu Iyem tanpa perlu tenaga ekstra. Dan hal itu jauh lebih ringan di banding saat Bu Iyem ngurus rumah tangga di kampung dulu.
Saat ini, ambil airnya tak perlu keluar rumah. Tinggal putar kran, air mengalir. Sabun pun sudah tersedia. Ada sabun cuci, ada sabun mandi, ada sabun untuk ngepel, dan lainnya. Lengkap.
Alat untuk mengerjakannya pun lebih memadai. Tidak perlu penggilasan untuk mencuci baju karena sudah ada mesin cuci. Tidak perlu berbungkuk untuk mengepel lantai, karena sudah ada alat yang tinggal dorong-dorong.
Semua bisa dilakukan Bu Iyem sambil mengurus dan merawat cucunya. Setelah memandikan cucu, memberikannya makan dan susu, pekerjaan rumah tangga itu bisa ia lakukan.
Tidak terasa beberapa tahun berlalu. Ia memang sangat dekat dengan cucunya. Tapi, ia tidak begitu dekat dengan anak dan menantunya. Karena meski di waktu libur pun, keduanya masih sibuk dengan kegiatan masing-masing di luar rumah.
Ia mulai merasakan seperti berada di dunia lain. Seperti bukan sebagai seorang ibu. Tapi seperti seorang pembantu.
**
Salah satu tanda akan datangnya Hari Kiamat menurut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, ketika seorang budak wanita melahirkan tuannya. [Mh]