DUA ekor anak elang mulai gusar. Induknya memberi batas waktu kapan keduanya harus terbang.
Bulu-bulu di sayap anak dua ekor elang sudah mulai tumbuh lebat. Tulang sayapnya pun sudah tampak kokoh. Keduanya tak lama lagi ‘wajib’ terbang dari sarang.
Satu ekor anak elang menanggapi dengan positif. Ia mencoba terbang di sekitaran sarang. Ia pun tak jarang mengepak-ngepakkan kedua sayapnya agar bisa lebih luwes untuk digerakkan.
Sementara, satu ekornya lagi tampak ketakutan. Jangankan belajar terbang di sekitara sarang, melongok ke bawah sarang saja ia gemetaran.
Setiap kali mengingat ucapan ibunya untuk bersiap-siap wajib terbang, sekujur tubuhnya menjadi lemas. Ia jauh lebih memilih untuk tetap di sarang daripada belajar terbang.
Ia membayangkan betapa tingginya sarang yang ia tinggali. Ia juga membayangkan kalau akhirnya gagal terbang. Ia akan terjatuh dan tubuhnya menghempas batu yang tajam. Iiiiih… Apa jadinya.
Dan akhirnya, batas waktu itu tiba. Secara naluriah, induk elang ‘memaksa’ dua anaknya untuk mengikutinya terbang dari sarang.
“Ayo kita terbang. Kepakkan kedua sayap kalian sekuat mungkin. Begini caranya terbang…,” ucap induk elang sambil terbang perlahan.
Langkah itu diikuti anak elang yang pertama. Meski masih kaku, ia berhasil mengepakkan kedua sayapnya. Tubuhnya terangkat ke udara lepas. Ia bisa terbang.
Kini giliran anak yang kedua. Wajahnya pucat. Matanya terpejam. Ia tidak berani menatap ke bawah bukit. Tubuhnya kaku. Kedua sayapnya kehilangan naluri untuk terbang.
“Ayo cepat, terbang!” teriak sang iduk dari atas udara.
Karena takut dengan induknya, anak elang ini pun melompat keluar sarang. Tapi, ia tidak tahu harus berbuat apa. Jangankan mengepakkan kedua sayapnya, matanya masih pun tetap terpejam.
Pemandangan tragis pun akhirnya terjadi. Tubuh anak elang yang takut ini terjatuh ke dasar bukit. Ia tewas terbentur bebatuan.
**
Rasa takut pasti ada di setiap awal episode kehidupan. Ada takut awal sekolah, awal kuliah, awal kerja, awal menikah, awal punya anak, dan lainnya.
Hal itu wajar karena itulah reaksi diri kita terhadap hal baru yang belum dialami dan tampak menakutkan.
Obatnya bukan lari dari hal baru itu. Tapi, justru dengan menghadapinya. Mungkin akan ada langkah gagal. Tapi, setidaknya rasa takut jauh lebih berkurang.
Jadi, obat terhadap rasa takut adalah belajar menghadapi yang ditakutkan itu. Keluarkan semua potensi yang dimiliki.
Jangan seperti anak elang yang karena takut, ia lupa kalau dirinya punya sayap yang bisa digunakan untuk bisa terbang. [Mh]