SEORANG ulama di Maroko mimpi bertemu Rasulullah. Dalam mimpi itu Nabi mengatakan, “Sampaikan kepada fulan bin fulan bin fulan bahwa ia akan menghuni surga.” Nabi juga menyampaikan lokasi orang tersebut yang tinggal di Mekah.
Ketika tersadar, ulama ini tercenung. Ah, mungkin hanya mimpi. Pikirnya.
Di hari berikutnya, ia bermimpi hal yang sama. Persis seperti yang ia alami di hari sebelumnya. Tapi, ia pun masih menganggap bahwa itu hanya mimpi biasa.
Tapi ketika ia bermimpi hal yang sama lagi di hari ketiga, sang ulama ini pun bergegas untuk berangkat ke Mekah mencari orang yang misterius yang dimaksud dalam mimpi itu.
Ia kumpulkan segala harta dan tabungan untuk membiayai perjalanannya.
Setibanya di Mekah, ulama ini menemui pejabat daerah untuk menanyakan tentang seseorang yang bernama fulan bin fulan bin fulan.
Pejabat daerah itu pun mencari dalam catatan administrasi. Ternyata, nama itu memang benar ada dan tinggal di sebuah tempat di kawasan Mekah, tak jauh dari Masjidil Haram.
“Tapi, apa tujuan Anda ingin bertemu dengan orang ini?” tanya pejabat itu kepada ulama. “Kenapa Anda yang orang soleh datang jauh-jauh kesini untuk menemui orang yang buruk ini?” tambahnya.
Mendengar pertanyaan itu, sang ulama terkejut. Apa tidak salah? Sang ulama itu membayangkan kalau orang yang akan ia temui adalah orang soleh, bahkan seorang ulama hebat.
Ketika alamat lengkap itu sudah ia pegang, ulama itu pun pergi menuju ke rumah sosok misterius itu. Ia justru tambah penasaran.
Ketika bertemu, ulama ini agak kaget dengan sambutan orang yang ia cari. “Siapa kalian? Apa keperluan Anda mencari saya?” ucapnya agak ketus.
Ulama ini pun menceritakan perihal maksud kedatangannya, termasuk mimpinya bertemu dengan Nabi.
“Anda mungkin salah orang. Saya bukan orang seperti yang anda maksud. Shalat saya amburadul. Bahkan sudah bertahun-tahun saya tidak ke Masjidil Haram,” ucapnya.
Namun, ulama ini tetap berbaik sangka. Ia pun mengesampingkan keadaan orang ini. Ia hanya ingin tahu, amalan baik apa yang membuat dirinya begitu istimewa di sisi Allah.
“Aku tidak punya amalan istimewa. Bahkan yang baik-baik pun aku sudah tidak mengamalkannya,” ucap orang itu dengan santai.
Ulama ini tetap bersikeras. “Mohon maaf, coba Anda ingat-ingat, amalan apa yang menurut Anda paling baik yang pernah Anda lakukan?” desak sang ulama, lagi.
Orang ini tampak berpikir keras. Dan, akhirnya ia menemukan. “Oh iya. Saya punya tetangga yang meninggal dunia. Ia meninggalkan janda dan anak-anak yatim,” ujarnya.
“Terus…,” tanya sang ulama begitu penasaran. “Saya kasihan dengan keadaan mereka. Saya pun berjanji kepada Allah untuk membagi dua setiap penghasilan yang saya terima: untuk keluarga saya dan untuk mereka,” pungkasnya.
“Masya Allah,” ucap sang ulama. “Inilah amalan istimewa itu. Anda telah berjanji kepada Allah untuk hal yang begitu istimewa tanpa seorang pun yang tahu. Saya yakin, Anda memang sebagai penghuni surga itu,” lanjut sang ulama.
Tiba-tiba, orang itu terkulai lemas. Ia menangis. “Entah sudah berapa tahun aku tidak ke Masjidil Haram,” ucapnya sambil sesegukan.
Ulama ini pun mengajak orang itu ke Masjidil Haram. “Silahkan Anda mandi dan bersih-bersih,” ucap sang ulama.
Setelah selesai bersih-bersih dan berwudhu, ulama itu pun berangkat bersama orang itu ke Masjidil Haram.
Saat itu, shalat akan dimulai. Ketika imam membacakan ayat-ayat Al-Qur’an, orang itu menangis lagi. Begitu pun di rakaat kedua, ketiga, dan keempat.
Ulama itu pun ikut menangis. Ia begitu terharu dengan orang yang baru ia kenal itu. Dan di sujud terakhir dalam shalat, orang itu tak lagi terdengar menangis.
Namun ketika imam bangun dari sujud dan duduk tahiyat, orang itu tetap saja dalam posisi sujud. Bahkan hingga imam mengucapkan salam.
Setelah diperiksa, ternyata orang itu sudah meninggal dunia. Ia wafat dalam sujud terakhir shalat Isya itu.
**
Kadang amalan yang kita anggap besar, istimewa, dan agung, ternyata tidak berarti apa-apa di sisi Allah. Mungkin karena Allah menilai si pelakunya ujub dan riya.
Tapi, kadang amalan yang kita anggap enteng dari orang yang juga tidak dianggap sama sekali oleh masyarakat, justru begitu agung di sisi Allah.
Hal itu karena pelakunya begitu jujur di sisi Allah. Ia tulus melakukan itu hanya karena Allah. Bukan karena apa pun. Dan ia begitu konsisten dengan amalan yang orang sekitarnya anggap kecil itu. [Mh]