SILATURAHIM itu menyambung tali persaudaraan. Dan lebih utama jika tali yang disambung itu sudah putus.
Umat Islam juga manusia. Sebaik-baik mereka, sebagus-bagus akhlak mereka; ujian putusnya tali silaturahim kadang sulit dihindarkan.
Ada saja sebabnya. Bisa datang dari kita, dari saudara kita, bisa juga dari pihak ketiga. Sebab utamanya biasanya tentang materi. Misalnya, jatah warisan.
Sebab ini yang paling dominan. Dan selalu menjadi sebab laten yang sewaktu-waktu bisa terjadi. Karena itu, pihak orang tua mesti menyiapkan pemahaman dan mental anak-anak agar tidak terjebak pengaruh buruk warisan.
Mungkin juga ada sebab lain. Misalnya pihak ketiga yang mengadu-adu antar saudara yang jarang bertemu. Dan ujungnya ada kesalahpahaman.
Dan biasanya, antar saudara yang sudah sangat ‘dekat’, jika terjadi ‘koslet’, akan sulit didamaikan. Meskipun permusuhannya ‘silent’, alias saling diam.
Satu hal yang buruk dari putusnya tali silaturahim: terwariskan ke anak cucu. Jika yang putus antar anak-anak, orang tua bisa mendamaikan. Tapi jika yang putus antar orang tua, anak-anak justru akan ikut-ikutan.
Bagaimana solusinya?
Butuh pihak yang super hebat. Yaitu, mereka yang penuh kesadaran berusaha menyambung tali silaturahim yang putus.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Silaturahim (yang utama) bukanlah yang saling berbalas kebaikan. Melainkan, orang yang berusaha menyambung tali silaturahim yang terputus.” (HR. Bukhari)
Orang yang hebat ini bukan sekadar mendapat pahala dan pujian dari Allah subhanahu wata’ala. Melainkan juga menjadi orang-orang yang mendapat naungan di hari kiamat.
Masalahnya, bagaimana menjadi orang yang hebat itu? Yaitu, orang yang tetap sabar berbuat baik meski pihak satunya terus menganggapnya buruk.
Pertama adalah sikap ikhlas. Yaitu, sama sekali tidak mengharapkan balasan kecuali dari Allah subhanahu wata’ala.
Orang ini hanya sekadar menjalankan misi khusus dari Allah. Yaitu, menyambung tali silaturahim yang putus. Dan tak ada kepentingan apa pun dari manusia.
Kedua, ia ingin meneladani akhlak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dengan begitu, upaya menyambung tali silaturahimnya bernilai ihyaus sunnah atau menghidupkan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Ketiga, menjadi investasi kebaikan untuk anak cucu. Ketika anak cucu memahami upaya orang tuanya untuk terus menyambung silaturahim, suatu saat, mereka akan meneladani itu. Mungkin saja antar orang tua yang putus, tapi antar anak-anak tidak.
Ar-Rahim itu salah satu asma Allah. Artinya, Penyayang. Dan silaturahim bisa bermakna menyambung saling sayang karena Allah Yang Maha Penyayang.
Karena itu, selama kita ingin menerima kasih sayang dari Allah, sambunglah tali silaturahim yang terputus. [Mh]