ChanelMuslim.com- Orang-orang Arab di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam itu pintar. Mereka sukses dalam bisnis. Mereka juga sukses mengatur suku-suku di jazirah Arab untuk ziarah ke Ka’bah dengan damai. Namun, kenapa mereka disebut sebagai kaum jahiliyah?
Jahiliyah berasal dari kata jahil yang artinya bodoh. Secara otak atau pikiran di kepala, mungkin mereka tergolong pintar. Tapi dari kecerdasan hati, mereka tergolong bodoh. Bodoh yang paling mendasarnya adalah mereka mengelola rumah Allah, baitullah, tapi tidak paham siapa Allah.
Di masa itu, secara turun-temurun Allah diwakilkan dengan aneka patung. Masing-masing suku memiliki patungnya sendiri. Agar terjalin perdamaian di tanah Arab, semua patung itu dipajang di Ka’bah.
Belum cukup dengan itu, setiap rumah pun diperbolehkan memiliki patungnya sendiri. Yang kaya, patungnya bagus, terbuat dari bahan yang mahal. Yang miskin patungnya sekadarnya.
Ada yang membuat patung di rumah dari bahan adonan kue. Ketika makanan di rumah cukup, patung itu mereka sembah. Ketika makanan habis, patung itu sendiri yang mereka makan.
Kebodohan ini terus berlangsung, diwariskan dari generasi ke generasi berikutnya. Padahal, nenek moyang mereka seorang Nabi: Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail.
Keimanan dan kecerdasan hati memang sesuatu yang tidak bisa diwariskan. Tidak ada jaminan, orang tua yang soleh akan mewariskan anak dan cucu yang soleh.
Jadi, jahiliyah merujuk pada kebodohan hati. Bukan kebodohan otak. Hati memiliki kapasitas yang jauh lebih besar dari otak. Otak lebih kepada berpikir untuk bertahan dan melanjutkan hidup. Sementara hati mampu melihat hal-hal setelah hidup.
Otak tidak mampu memahami yang tidak terlihat. Sesuatu yang terlihat dikatakan ada, dan yang tidak terlihat berarti tidak ada. Padahal, di dunia ini begitu banyak benda-benda yang tidak terlihat. Seperti, angin, udara, gas, dan lainnya.
Tidak heran jika segala keharmonisan alam raya, seperti sinar matahari, pergantian siang dan malam, air yang melimpah, tumbuhan yang subur, susu dan daging bergizi dari hewan; mereka katakan sebagai kebaikan alam. Bukan memahami siapa Allah.
Padahal, alam hanya benda mati. Otak tidak mampu meraih ketinggian di balik siapa yang mengatur benda mati itu menjadi begitu teratur dan terjaga.
Dalam hubungan sesama manusia, otak juga tidak mampu menangkap nilai di balik hubungan itu. Otak hanya memahami keuntungan jika menerima dari manusia lain, tapi tidak mampu mencerna jika harus memberi ke orang lain.
Padahal, kelanggengan hidup itu terjadi jika sesama manusia bersemangat untuk memberi, bukan terus-menerus menerima, apalagi mengambil dan merampas. Hal itulah yang kini dialami negeri-negeri yang tidak mau bertuhan. Suami istri pun tidak saling percaya. Bahkan orang tua dan anak tidak terjalin dalam saling percaya.
Sebagian mereka lebih percaya dengan hewan-hewan peliharaan dari pada pasangan atau anak-anak mereka. Karena hewan peliharaan, dianggap lebih setia dari manusia mana pun.
Inilah jahiliyah. Terjadi di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam hidup. Dan terus berlangsung hingga di abad ini.
Marilah terus mengasah kecerdasan hati kita, agar terus tersambung dengan Yang Maha Mengetahui. Hati akan kian cerdas bersama hidayah Allah. Dan akan bodoh jika sebaliknya. [Mh]