BERKAH itu kebaikan yang bersambung tanpa putus. Tidak berkurang, justru terus bertambah dan bertambah.
Ada kisah yang menarik dari Imam Syafi’i saat berada di tempat ‘hijrah’nya yang terakhir: Mesir.
Ya, Mesir menjadi tempat terakhir dakwahnya setelah berpindah di sejumlah wilayah: Mekah, Madinah, Yaman, Bagdad, dan lainnya.
Di Mesir pula terkenal dengan fatwa Imam Syafi’i yang disebut sebagai Qaulun Jadid (pendapat yang baru) setelah sebelumnya disebut sebagai Qaulun Qadim (pendapat yang lama).
Di Mesir, ternyata ada seorang tokoh ulama wanita yang juga belum lama hijrah dari Madinah. Kurang lebih baru lima tahun. Tokoh itu bernama Sayyidah Nafisah, ulama wanita yang juga cicit Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Sebenarnya Sayyidah Nafisah tidak berniat menetap lama di Mesir. Ia hanya mampir setelah kunjungannya ke Palestina, di mana makam Nabi Ibrahim alaihissalam berada.
Namun, masyarakat Mesir begitu menyayangkan jika Sayyidah Nafisah balik ke Madinah. Masyarakat Mesir begitu haus dengan ilmu dari sosok ulama wanita yang sejak kecil menguasai ilmu Al-Qur’an dan dalam didikan para ulama.
Karena desakan itu, akhirnya Gubernur Mesir memfasilitasi rasa haus umat dengan rumah baru Sayyidah Nafisah yang jauh lebih memadai untuk menampung banyak orang. Gubernur juga membatasi kunjungan, hanya pada Rabu dan Sabtu saja. Selebihnya menjadi hari-hari di mana Sayyidah Nafisah beribadah dan hal lainnya.
Termasuk yang berkunjung adalah Imam Syafi’i rahimahullah. Keduanya saling bertukar pikiran tentang banyak keilmuan. Tapi, Imam Syafi’i menganggap bahwa Sayyidah Nafisah adalah salah seorang gurunya. Usia keduanya terpaut lima tahun, lebih tua Sayyidah Nafisah.
Ketika sakit, Imam Syafi’i mengirim utusannya untuk memintakan doa kesembuhan ke Sayyidah Nafisah. Dan ketika utusan itu tiba di kediaman Imam Syafi’i, beliau merasakan sembuh. Begitu seterusnya.
Namun suatu hari, ketika Imam Syafi’i sakit, dan utusan Imam Syafi’i tiba di rumah Sayyidah Nafisah, utusan itu menerima pesan dari cicit Rasulullah itu dengan kalimat, “Matta’ahullahu binnazhri illa Wajhil Karim.”
Artinya, “Semoga Allah memberinya kegembiraan ketika berjumpa dengan-Nya.”
Imam Syafi’i paham apa yang dimaksud dengan kalimat itu. Inilah sakit terakhirnya. Beliau pun menyampaikan ke utusannya untuk meminta Sayyidah Nafisah untuk menyalatkan jenazahnya.
Imam Syafi’i wafat di usia sekitar 54 tahun. Jenazahnya dibawa ke kediaman Sayyidah Nafisah untuk dishalatkan bersama para jamaah yang hadir.
Sekitar empat tahun berikutnya, Sayyidah Nafisah juga wafat. Tokoh fenomenal ini juga dimakamkan di Mesir pada usia yang hampir sama dengan kakek buyutnya: 63 tahun.
**
Ilmu menjadikan seseorang lebih tawadhu atau rendah hati. Semakin berilmu, semakin hatinya merendah terhadap siapa pun.
Inilah capaian ilmu yang sesungguhnya. Sebuah cahaya yang menghias hati seseorang untuk lebih mengagungkan kebersaran Allah dan mengecilkan dirinya sendiri.
Bukan sebaliknya: yang lain menjadi terlihat kecil, sementara dirinya dianggap super besar. [Mh]