SALING bersaudara mesti saling bantu. Dan bantuan cinta tidak selalu lembut dan damai.
Sebuah desa terpencil di tepian hutan begitu damai dan harmonis. Damai dengan alam dan harmonis dengan para penghuni hutan.
Hewan-hewan liar dan buas di hutan bukan tidak bisa mengganggu warga desa. Tapi, para hewan sudah merasa cukup dengan habitat hutan yang tersedia.
Hari berganti bulan, dan bulan pun berpindah ke tahun. Hujan begitu lama tak turun, termasuk di hutan. Pohon-pohon di hutan mengering, rumput dan ilalang pun mati.
Suatu hari, ada kabar seorang warga desa tewas diinjak-injak kawanan gajah. Penduduk desa pun berhasil mengusir kawanan gajah kembali masuk hutan.
Beberapa hari kemudian, warga desa dikejutkan dengan banyaknya kera liar yang sebagiannya menduduki atap-atap rumah warga. Kali ini, warga mulai kerepotan mengusir.
Belum lagi, kera-kera liar terusir kembali ke hutan, sejumlah babi hutan menerebos masuk ladang-ladang warga. Warga begitu panik.
Di saat yang hampir bersamaan, suara lengkingan gajah begitu dekat. Sepertinya rombongan yang pernah terusir kembali lagi mau masuk ke desa.
Merasa tak mungkin bisa mengusir sendiri, warga desa meminta bantuan pejabat di kota. Warga desa mengabarkan telah terkepung oleh hewan liar yang kelaparan.
Kabar memprihatinkan itu pun tersebar luas ke seluruh desa dan kota yang berdekatan. Ada di antara mereka yang mengirim bantuan makanan. Ada yang mengirim bantuan pakaian, obat-obatan, serta kebutuhan bayi dan balita.
Warga desa bingung dengan berbagai bantuan itu. Mereka memang butuh bantuan seperti itu. Tapi, yang lebih mereka butuhkan adalah bantuan pasukan dan senjata untuk mengusir hewan-hewan liar yang terus mengepung warga desa.
Kepala desa pun menelepon kembali pejabat kota, “Tolong bantu kami mengusir hewan-hewan liar ini. Bukan bantuan makanan, obat-obatan, dan pakaian!”
Pejabat kota pun menjawab, “Oh kalau itu, kami tak sanggup. Kami juga takut dengan hewan-hewan liar!”
**
Keprihatinan terhadap warga Palestina yang dikepung Zionis belum juga usai. Berbagai negara mengirim sejumlah bantuan. Ada yang mengirim makanan, obat-obatan, pakaian, dan keperluan balita.
Boleh jadi, warga Palestina yang terus menghindari dan melawan sebisanya pembantaian itu bingung. Kenapa bantuannya seperti ini?
Seolah-olah mereka ingin berteriak melalui telepon jarak jauh, “Yang kami butuhkan kekuatan militer untuk mengusir para pembunuh ini. Bukan bantuan sembako dan obat-obatan!”
Dan boleh jadi pula, yang menerima telepon akan berujar, “Waduh, kalau bantuan melawan militer Zionis, kami juga tak sanggup. Kami hanya bisa bantu itu!” [Mh]