SEORANG ulama pernah menulis, al-mustaqbal li haazad diin. Masa depan ada di tangan Islam.
Kadang hati kecil sebagian kita merasa ragu dengan wajah Islam di masa depan. Apakah Islam bisa menjadi pemimpin? Apakah Islam bisa menjadi pilihan dari berbagai kebuntuan jalan dunia saat ini.
Keraguan ini mungkin bukan tanpa sebab. Tapi muncul dari kenyataan-kenyataan saat ini yang sepertinya menempatkan Islam pada posisi pinggiran. Bahkan kadang seperti pelengkap penderita.
Contoh, selama kurang lebih 20 tahun, Amerika dan dunia memojokkan Islam sebagai biang keladi terorisme. Seolah apa pun yang namanya terorisme selalu dilabelkan dengan simbol-simbol Islam.
Mulai dari pelakunya yang berjanggut, mengenakan kopiah putih, yang wanitanya mengenakan cadar, wajah-wajah arab, dan sebagainya.
Dari sini pula, bahkan seorang pegiat film muslim asal India bernama Karan Johar membuat film ‘gugatan’. Film yang dibintangi Shah Rukh Khan yang rilis pada tahun 2010 ini seolah menohok Amerika tentang propaganda terorisme yang dialamatkan ke Islam.
Baru di saat Amerika dibayang-bayangi dua musuh besar: Rusia dan Cina, propaganda busuk ini pun disudahi. Sayangnya, masih ada ‘ekor-ekor’ Amerika yang tetap saja memelihara Islamophobia tanpa alasan.
Umat Islam, khususnya di kalangan generasi muda umumnya, juga seperti merasakan keterasingan tentang ajaran Islam itu sendiri. Memang ada yang berjuang untuk tampil, tapi tidak sedikit yang minder dan tenggelam dalam arus westernisasi.
Syukurnya, kegalauan itu tidak begitu kentara di negeri yang mayoritas muslim ini. Meski dihalang-halangi, meski dicitrakan buruk, fenomena jilbab selalu mendominasi wanita Indonesia.
Dan arus reformasi akhirnya melibas keterkungkungan aturan militer yang seperti menganggap ‘hantu’ tentang jilbab. Saat ini, kita patut bersyukur, bahwa busana muslimah bukan hal terlarang di seragam Polri dan TNI.
Meski begitu, ‘pukulan’ keras masih dirasakan umat Islam. Tentu tidak dalam bentuk fisiknya. Tapi dalam verbal, propaganda, stigma, dan sejenisnya.
Antara lain istilah radikal, kadrun, dan lainnya. Dan terakhir, stigma yang disebut politik identitas. Seolah-olah bahwa para politisi muslim harus diwaspadai ketika mereka menyertakan nilai-nilai Islam dalam berpolitik.
Padahal, politik itu memang identitas. Politik mana saat ini yang bebas dari identitas. Bukankah politik Marhaen dan Soekarnois juga politik identitas.
Namun begitu, segala manipulasi, segala stigmaisasi terhadap Islam secara natural akan berbalik ke penuduhnya. Seperti itulah perjalanan sejarah membuktikan. Islam selalu tampil sebagai solusi.
Tanpa iman yang memadai, hidup di akhir zaman saat ini seperti berada di perahu besar tanpa nakhoda yang terombang-ambing dalam gelombang samudera zaman.
Semoga Allah senantiasa menetapkan istiqamah kita semua. Tidak termasuk seperti yang diisyaratkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam besarnya fitnah akhir zaman.
Yaitu, seseorang yang paginya beriman, tapi sorenya kafir. Dan sorenya beriman, tapi paginya kafir. Mereka menjual idealisme agamanya dengan harta yang sedikit.
Yakinlah seperti yang disampaikan ulama, “Al-Mustaqbal li haazad diin.” Masa depan (insya Allah) berada di tangan Islam. [Mh]