LELAKI dari Khurasan dan kantung dinar yang hilang. Ini adalah sebuah kisah penuh hikmah dari seorang yang tak berputus asa dari Rahmat Allah.
Ia bersabar atas musibah yang menimpanya dan berusaha untuk memperbaiki hidupnya. Ini adalah kisah lelaki dari Khurasan dan kantong dinar yang hilang darinya.
Baca Juga: Kisah Pencuri dan Malik Ibnu Dinar
Lelaki dari Khurasan dan Kantong Dinar yang Hilang
Ubaidillah bin Muhammad Al-Abqasyi mengisahkan pengalaman seorang pedagang dari kota Khaekh. Pedagang itu sedang berada di Baghdad.
Aku bekerja pada seorang saudagar di kota Khurasan.
Setiap musim, aku menjualkan dagangannya dan dari usaha ini, aku mendapatkan keuntungan ribuan dírham.
Pada suatu ketika, dagangannya datang terlambat, dan hal itu mempengaruhi kondisi ekonomiku.
Keadaan itu menyebabkan bencana bagiku. Aku menutup tokoku. Aku hanya duduk santai di rumah untuk menghindari orang yang menagih piutangnya yang ada padaku. Hal ini aku lakukan selama empat tahun.
Di musim haji, aku mencari-cari kabar –berita tentang saudagar dari Khurasan itu. Hal itu kulakukan demi memperbaiki keadaan ekonomiku.
Aku datang ke Pasar Yahya, tetapi aku tidak mendapatkan kabar–beritanya. Aku pun kembali, dan singgah di kota. Aku lelah dan sedih sekali.
Di suatu hari yang terik, aku turun ke sungai Turgrus. Setelah mandi, aku naik ke atas daratan. Tanah yang menjadi pijakan kakiku pun basah. Secara tak sengaja, kakiku menyingkap pasir di tepian sungai.
Ternyata di dalamnya terdapat sebuah kantong. Setelah kukenakan pakaianku, aku Tarik kantong itu dari dalam onggokan pasir.
Kubuka kantong itu, tenyata di dalamnya berisi uang dinar dalam jumlah banyak.
Kusembunyikan kantong itu, dan aku pulang ke rumah. Setelah kuhitung, jumlahnya mencapai 1.000 dinar.
Aku berusaha menguatkan hatiku. Aku berjanji kepada Allah jika keadaan ekonomiku membaik, aku akan mengembalikan kantong itu kepada pemiliknya.
Kusimpan kantong itu dengan baik. Sebagian uang di dalamnya kugunakan untuk melunasi hutang. Kubuka kembali toko milikku, dan aku kembali melakukan usaha dagang dan percaloan.
Setelah tiga tahun berlalu, kekayaan toko milikku telah mencapai angka ribuan dinar.
Musim haji tiba. Aku menghampiri rombongan jamaah haji untuk mencari orang yang pernah merasa kehilangan kantong itu, si lelaki Khurasan.
Namun, aku tidak menemukan pemiliknya. Aku pun kembali ke toko.
Saat aku duduk di dalam toko, datanglah seorang laki-laki. Dia berdiri di depan toko. Laki-laki itu mengenakan pakaian lusuh, rambutnya berdebu, dan kumisnya panjang.
Baca Juga: Salamah bin Dinar, Hakim yang Zuhud
Dari raut mukanya, sepertinya ia berasal dari Khurasan. Aku menduga ia seorang pegemis. Kuambil beberapa uang dírham untuk diberikan kepadanya. Namun, ia bergegas meninggalkan toko.
Sejenak aku ragu. Aku berdiri menyusul laki-laki itu. Setelah kuamati, yakinlah aku kalau dia adalah lelaki Khurasan yang beberapa tahun lalu memberiku keuntungan berdirham-dirham dalam kegiatan dagang dengannya.
“Tuan, apa yang terjadi denganmu?” Aku menangis melihat kondisinya yang memilukan ini. Dia juga menangis.
“Ceritanya panjang,” katanya padaku
Kuajak ia singgah dirumahku. Kusuruh dia mandi dan aku beri pakaian yang bersih. Kuberi ia makan hingga kenyang. Setelah itu, kutanyakan kabarnya.
Laki-laki itu berkata, “Kamu mengenalku dengan baik. Kamu tahu keadaanku dan kekayaan yang kumiliki.
Pada akhir tahun, aku pergi ke Baghdad, setelah itu melanjutkan perjalanan untuk berhaji. Walikota berkata padaku, “Aku punya yaqut merah, yang hanya pantas dikenakan oleh seorang Khalifah. Ambillah, lalu juallah di Baghdad! Gunakan uang hasil pejualannya untuk membelikanku perhiasan, minyak wangi, dan alat hiburan. Kemudian berikan sisanya kepadaku.”
Laki-laki itu berkata, “Aku ambil yaqut itu dari si walikota, kemudian aku simpan pada sebuah kantong kulit.”
Ia melukiskan ciri-ciri kantongnya. Ciri-ciri iru sepertinya sesuai dengan ciri-ciri kantong yang kutemukan di tepian Sungai Tigris.
“Di dalam kantong itu aku simpan uang cash 1.000 dinar,” kata laki-laki itu melanjutkan. “Aku ikatkan kantong itu pada pinggangku.
Sesampainya di kota Baghdad, aku berenang pada sore di sebuah pulau dekat dengan Pasar Yahya. Kutinggalkan pakaian dan kantong itu di suatu tempat yang bisa kuamati dari tempatku mandi.
Pada saat matahari tenggelam, aku keluar dari sungai. Dalam keremangan maghrib, kukenakan pakaianku.
Namun, aku lupa mengambil kantong uangku. Aku baru teringat keesokan paginya. Aku segera mencarinya, namun tak berhasil menemukannya kembali. Seakan ia lenyap ditelan bumi. Aku anggap itu musibah kecil saja. Dalam pikiranku, aku bisa mengganti batu yaqut itu dengan uang sebesar 3.000 dinar.”
Laki-laki itu melanjutkan ceritanya, “Aku melanjutkan perjalanan untuk ibadah haji. Sepulang haji, kuhitung bekalku, dan kubeli seluruh barang yang dipesan oleh Walikota. Aku kembali ke kotaku.
Seluruh barang yang dipesan oleh walikota. Aku kembali ke kotaku. Seluruh yang kubelanjakan kuberikan kepada walikota.
Kukabarkan padanya musibah yang telah menimpaku.” Ambillah uang 3.000 dinar ini sebagai ganti batu yaqut yang hilang!”
Ternyata ia adalah sosok manusia yang tamak. Ia mengatakan, “Batu yaqut itu harganya 50.000 Dinar.” Setelah itu ia menangkapku. Seluruh harta yang kumiliki disitanya.
Dia juga memenjarakanku selama tujuh tahun. Selama itu pula ia memberikan siksaan yang tak terperi. Setelah hukumanku berjalan tujuh tahun, masyarakat mulai mempertanyakan apa yang dilakukannya padaku. Karena itulah maka ia membebaskanku.”
“Aku merasa tak nyaman tinggal di kota itu. Aku juga tidak sanggup untuk menahan hinaan yang dilakukan oleh para musuh. Kutinggalkan kotaku dengan tujuan menghilangkan kemiskinanku. Aku tak tahu harus kemana. Aku menemui jamaah haji dari Khurasan.
Aku ikuti jalan mereka, namun aku tak tahu apa yang bisa kulakukan. Akhirnya, kuputuskan untuk menemuimu untuk memperbincangkan masalah yang kuhadapi ini,” kata laki-laki itu panjang lebar.
Baca Juga: Kembali ke Mata Uang Dinar
Aku berkata padanya, “Allah telah mengembalikan sebagian hartamu yanghilang. Kantong yang kau sebutkan ciri-cirinya ada padaku. Di dalamnya terdapat uang sebesar 1.000 dinar. Aku telah berjanji kepada Allah, aku akan mengembalikan kantong itu kepada orang yang bisa menceritakan ciri-cirinya. Engkau telah menyebutkan ciri-cirinya dengan benar. Aku yakin, engkaulah pemiliknya.”
Aku berdiri, lalu mengambil kantong dan menyerahkannya pada laki-laki itu. Di dalamnya terdapat uang sebesar 1.000 dinar. Kukatakan padanya, “Dengan uang sebesar ini, engkau bisa hidup di Baghdad. Dengan seizin Allah, engkau tidak akan mengalami kesulitan ekonomi di sana.”
“Tuanku, benarkah kantong itu ada pada Tuan. Kantong itu tak pernah dipegang oleh orang lain?” dia bertanya padaku
“Iya.”
Laki-laki itu pingsan karena kegirangan. Kuduga ia telah mati karenanya. Setelah siuman sejam kemudian, ia berkata padaku, “Di mana kantong itu?”
Kusodorkan kantong padanya. Ia memintaku agar meminjamkan pisau. Kuserahkan padanya pisau yang dia minta, dan dengan pisau itu ia merobek bagian bawah kantong.
Dari dalam robekan itu, ia keluarkan yaqut merah. Cahayanya nyaris menerangi seluruh rumah dan menyialaukan mataku. Laki-laki itu berterimakasih padaku. Ia mendoakanku.
“Ambillah uang dinarmu,” kataku padanya. Dia bersumpah tak akan mengambil uang itu, kecuali sekedar yang digunakannya untuk biaya perjalanan.
Setelah menghitung-hitung, ia kemudian memutuskan untuk mengambil 300 dinar. Sisanya diserahkannya padaku.
Laki-laki itu menginap di rumahku hingga rombongan haji dari Khurasan tiba. Ia melanjutkan perjalanan bersama rombongan haji tersebut.
Setahun kemudian, laki-laki itu datang kembali di tempat biasanya dia menyediakan barang dagangan untukku. “Ceritakanlah kabarmu?” pintaku padanya.
Ia menjawab, “Aku telah menjelaskan apa yang kualami kepada penduduk kotaku. Kutunjukkan pada mereka batu yaqut milik walikota.
Para tokoh masyarakat menemaniku menghadap walikota. Mereka menceritakan kisahku pada walikota, dan menuntut agar walikota memperlakukanku dengan adil.
Ia ambil batu yaqutnya, dan mengembalikan seluruh hartaku yang pernah disitanya. Ia juga memberiku hadiah yang diambil dari harta pribadinya.”
Aku berkata, “Maafkan aku atas kesalahanku sehingga membuatmu sengsara.”
Dia memberikan maafnya padaku. Kemudian ia berkata, “Kemakmuran kembali lagi seperti sedia kala. Aku kembali berdagang dan bekerja. Semua ini adalah berkah kemurahan Allah dan keberkahanmu.” Kemudian setelah itu ia mendoakanku.
Setelah peristiwa itu, laki-laki itu sering mengunjungiku sampai ia meninggal dunia. [Cms]
(Sumber: Golden Stories Kisah-Kisah Indah Dalam Sejarah Islam, Mahmud Musthafa Sa’ad & Dr. Nashir Abu Amir Al-Humaidi, Pustaka Al-Kautsar)