SENYUM menyimpan banyak makna. Ada senyum yang lahir dari ketulusan. Ada yang sekadar budaya. Ada pula yang sekadar olahan pencitraan.
Kita terbiasa menyaksikan sebuah senyum. Datang dari siapa saja. Baik yang kita kenal, begitu pun dengan yang belum sama sekali. Biasanya senyum akan berbalas senyum.
Di lokasi layanan publik, seorang petugas bahkan harus bisa tersenyum ribuan kali per hari. Artinya, dengan jumlah yang tak terhingga.
Dengan latihan dan pembiasaan yang rutin, para petugas ini begitu mahir tersenyum meskipun hatinya tidak sedang ingin tersenyum.
Senyum seperti itu muncul sebagai sebuah produk latihan dan pembiasaan. Sebagai sebuah profesi. Ketika jam kerjanya berakhir, berakhir pula nuansa senyum di wajahnya.
Ada senyum budaya. Yaitu senyum yang lahir dari kelaziman di masyarakat. Dan negeri ini syukurnya dikenal sebagai warga yang murah senyum. Ramah pada siapa pun.
Sedemikian membudayanya, kita akan merasa salting sendiri saat berada di negeri dengan budaya yang jauh berbeda. Seperti di Eropa, Jepang, Cina, dan masih banyak lagi. Karena boleh jadi mereka justru curiga ketika kita tersenyum padahal belum kenal sama sekali.
Ada juga jenis senyum yang naunsanya agak jahat. Yaitu, senyum manipulasi. Senyum ini muncul dari seseorang yang bermaksud memanipulasi kita agar bisa percaya dan simpati dengannya.
Biasanya senyum ini muncul dari para penipu profesional. Bahkan sebagian politisi juga sangat terlatih dengan senyum jenis ini. Terlihat begitu mempesona dan ramah, padahal rakus dan zalimnya bukan main.
Orang-orang yang lugu tidak mampu menangkap maksud buruk di balik senyum itu. Terlebih lagi jika senyum itu terolah begitu apik dan keluar dari mereka dengan penampilan yang menawan.
Dalam konteks menjelang pemilu, senyum ini begitu menjamur. Sebelum keluar seribu satu janji manis, senyum manis akan terlebih dahulu menghias pemandangan lima tahunan ini. Meskipun tidak semua politisi seperti itu.
Kini, bagaimana dengan senyum dari kita. Senyum ketika kita berjumpa dengan orang-orang yang kita cintai. Senyum untuk para sahabat, sanak kerabat, dan orang-orang yang kita kenal dan tidak kita kenal.
Mungkin tidak semua orang akan mampu menangkap makna dari senyum kita. Sebuah makna yang bisa saja ambigu. Tidak tulus, dan boleh jadi hanya sekadar basa-basi.
Kalau para petugas publik bisa berlatih seperti apa mereka tersenyum, kenapa kita juga tidak berlatih seperti apa senyum yang pantas keluar dari mulut yang melazimkan zikir.
Senyum yang tulus menunjukkan kejernihan hati. Sebuah gambaran hati yang siap mencintai karena Allah, siap berkorban, dan tanda kerendahan hati.
Tak ada salahnya memaksakan diri demi untuk sebuah kebaikan yang dicontohkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Tersenyumlah dengan tulus, karena itu sedekah kita yang paling mudah.
Nabi bersabda, “Jangan remehkan kebaikan sedikit pun, meskipun hanya sekadar menampakkan wajah berseri kepada saudaramu.” (HR. Muslim) [Mh]