POTENSI itu keunggulan yang tersembunyi. Bantu anak menemukan potensinya.
Namanya Yahya bin Syaraf bin Hasan. Ia adalah seorang ulama yang dikenal dengan nama Imam Nawawi.
Beliau lahir di kampung Nawa, Damaskus, pada bulan Muharam tahun 631 Hijriyah. Hampir lima abad dibandingkan dengan kelahiran Imam Syafi’i.
Dari tangannya lahir sekitar 40 kitab rujukan umat hingga saat ini. Cakupannya begitu lengkap, mulai dari tema bahasa, hadis, fikih, dan akhlak. Salah satu kitab karya beliau yang akrab dengan kita saat ini adalah Riyadus Salihin dan Syarah Arbain An-Nawawi.
Namun siapa sangka, ulama yang wafat di usia tergolong muda: 45 tahun ini, punya pengalaman masa kecil yang tidak menyenangkan. Tapi justru, pengalaman tidak menyenangkan inilah yang menggiringnya menjadi seorang ulama.
Di usia setingkat sekolah dasar, Imam Nawawi tampil berbeda dengan anak-anak pada umumnya. Ia tidak suka bermain. Ia lebih suka menyendiri dan sibuk membaca.
Suatu kali, beberapa temannya membulinya. Mereka memaksa Imam Nawawi kecil untuk bermain bersama mereka. Tapi, beliau menolak. Dan terjadilah pemaksaan yang terus berulang.
Dua sisi yang bertolak belakang pun akhirnya terjadi. Di satu sisi, teman-temannya tak lagi mengajak Imam Nawawi berteman, dan di sisi lain, Imam Nawawi terus melampiaskannya dengan lebih banyak lagi membaca.
Tidak heran jika di masa belia, Imam Nawawi sudah menghafal Al-Qur’an dan begitu banyak hadis, dan kitab-kitab para ulama.
Setelah usia sembilan belas tahun, Imam Nawawi sudah menunjukkan kematangan ilmu yang di atas rata-rata. Ia menghabiskan waktunya untuk belajar dan mengajar.
Menariknya, Imam Nawawi tidak pernah mengambil gajinya sebagai guru. Ia lebih memilih hidup dengan sangat sederhana, apa adanya. Badannya pun menjadi kurus. Tapi ilmunya kian luar biasa.
Di usia empat puluhan, beliau sudah menjadi tokoh ulama. Tapi di masa itulah, ia mendapatkan cobaan hidup luar biasa.
Seorang raja memanggilnya ke istana. Imam Nawawi diminta untuk menandatangani sebuah fatwa yang sudah didesain oleh para penasihat raja. Tentu sebuah fatwa yang menguntungkan posisi raja.
Setelah membaca isi fatwa, Imam Nawawi langsung menolak tanda tangan. Sang raja geram. “Kenapa tidak tanda tangan?” tanya raja.
“Isinya banyak kezaliman,” jelas Imam Nawawi begitu tegas.
Raja pun memerintahkan pejabat keagamaan untuk memecat Imam Nawawi dari segala jabatan yang dipegang. Tapi sang pejabat mengatakan, “Mohon maaf raja, Imam Nawawi tidak punya jabatan apa pun.”
Sejak itulah, Imam Nawawi kerap mengalami hal tidak menyenangkan dari istana. Hanya saja, ia tidak dibunuh.
Seorang penasihat istana bertanya kepada raja, “Kenapa raja tidak membunuhnya?” Sang raja menjawab, “Aku merasa segan dengan beliau.”
**
Hati-hati menyimpulkan keanehan pada diri seorang anak. Teliti lagi dan telusuri lagi. Boleh jadi, di balik ‘tidak normalnya’ anak, seperti tidak mau bermain dengan teman-temannya, ia memiliki kelebihan melampaui anak-anak seusianya.
Selalulah bersikap positif terhadap anak. Bantulah ia untuk menemukan bakat dan kelebihan yang belum terlihat. [Mh]