KUMANDANG takbir menggema di seantero jagat raya. Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar. Semua yang selain Allah, kecil, termasuk ego kita.
Malam bahagia yang dituju akhirnya tiba. Kumandang asma Allah yang besar dan agung mengisi seluruh ruang jagat raya.
Malam takbiran merupakan malam kemenangan. Menang dari apa? Menang dari ego diri yang bisa berkolaborasi dengan jahatnya bisikan setan.
Menang karena akhirnya seluruh rangkaian tarbiyah Ramadan berlalu sukses. Meskipun perjalanannya melelahkan dan menyusahkan.
Inilah makna malam takbiran. Malam sempurnanya ketundukan kepada keagungan Allah subhanahu wata’ala. Dan seluruh rangkaian amaliyah Ramadan menjadi bukti dari ketundukan itu.
Seperti itu pula makna malam takbiran yang pernah dilalui keluarga Nabi Ibrahim alaihimussalam. Malam kemenangan perjuangan mereka dari godaan setan yang menyesatkan.
Jadi, jangan pernah membayangkan malam takbiran sebagai malam ‘kemerdekaan’. Atau, malam kebebasan. Bebas untuk bisa kembali pada rutinitas dosa di luar Ramadan.
Karena persepsi itulah yang ingin dibangun setan. Silakan bahagia. Silakan bergembira. Hal ini karena bulan yang mengekang sudah tidak berlaku lagi. Inilah malam kebebasan untuk kembali memanjakan nafsu.
Sebagian orang pun berpesta. Pesta karena tak ada lagi yang mengekang. Tak ada lagi yang membatasi. Dan tak ada lagi yang membuat fisik dan batin capek menahan diri.
Setan menggelorakan semangat kebebasan. “Ayo puaskan malam kebebasan ini! Hidupkan lagi dosa-dosa yang terkekang selama Ramadan!”
Ciri mereka yang mampu memaknai malam takbiran secara benar begitu jelas. Mereka tetap di rutinitas ibadah malam. Bahkan mereka memeriksa diri, jangan-jangan ibadah Ramadan berlalu tanpa bekas.
Tak ada pesta di situ. Justru muhasabah diri itu mengantarkan mereka untuk berempati dengan fakir miskin di sekitar tempat tinggal.
Mereka menangkap bahagia karena kasih sayang Allah. Karena Allah menjaga mereka tetap istiqamah selama Ramadan. Ungkapan sayang itulah tertular dalam empati mereka kepada fakir miskin.
Bahagia malam takbiran itu bukan karena kita punya kelengkapan untuk berpesta: pesta camilan, pesta busana, dan akhirnya pesta wisata dan poya-poya.
Bukan itu. Malam takbiran, sekali lagi, karena Allah tetap bersemayam dalam ruhani kita. Menerangi hati kita. Membekali kita hidayah untuk melalui hidup di sebelas bulan berikutnya.
Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar! Walillahil Hamdu. [Mh]