RAMADANKU kali ini berbeda, sebuah cerita pendek yang ditulis oleh Putri Khoir Iffah, yang diikutsertakan dalam Lomba Cerpen ChanelMuslim.com.
Tahun 2019, tahun terberat bagi banyak orang, tak terkecuali diriku. Aku seorang santriwati sebuah Rumah Tahfidz berbeasiswa, yang terbiasa segala kebutuhannya terpenuhi.
Tak disangka, tahun itu harus ikut dipulangkan karena keadaan yang semakin mencekam. Covid-19 yang semakin mewabah, membuat banyak orang merasakan khawatir yang berkepanjangan.
Para bapak yang terpaksa diberhentikan dari pekerjaannya. Para ibu yang mendadak memutar otak untuk membantu perekonomian keluarga.
Kira-kira seperti itu keadaan keluarga di sekelilingku, yang lebih banyak berharap datangnya bantuan dari orang-orang baik di luar sana.
Tak jauh berbeda dengan keadaan keluargaku, ayah yang saat itu berprofesi sebagai guru bimbel dan les-les privat, juga mendadak berhenti dari pekerjaannya, karena bimbel yang menjadi tempatnya mengajar memberhentikan segala proses kegiatan belajar mengajar.
Saat itu, ayah sulit untuk beradaptasi, karena banyak hal. Salah satunya gaptek dan memang hanya ada satu hp android di rumah yang biasa Mamah gunakan untuk mobilisasi kegiatan sehari-harinya.
Mamah yang sebelumnya terbiasa banyak berkegiatan sosial di luar, mulai dari mendongeng, mengajar ngaji, berjualan makanan, saat itu juga harus memutar otak untuk bisa beradaptasi dengan keadaan, dan membantu menstabilkan perekonomian keluarga.
Dan atas dasar kebijakan dari pemerintah, pada saat-saat itulah aku dipulangkan dari pondok.
baca juga: Inilah Ramadan Terburukku
Ramadanku Kali ini Berbeda
Terbiasa dengan kebutuhan yang selalu disediakan dari pondok, aku cukup kaget dengan keadaan di rumah.
Terlebih ketika tahu kalau Mamahku memutuskan untuk menjadi asisten rumah tangga di sebuah perumahan.
Keputusan yang sangat berat tentu, setelah melalui banyak diskusi panjang dengan kami.
Hari-hari beratku rasanya baru dimulai..
Aku anak perempuan pertama dari lima bersaudara. Baru merasakan kehidupan yang sebenarnya terjadi di luar pesantren. Oh, segitu beratnya ya, gumamku.
Mulai merasakan, ditinggal pagi-pagi oleh kedua orang tua hanya dengan uang sepuluh ribu sampai lima belas ribu, dengan titipan tanggung jawab, adik-adik bisa makan pagi sampai siang, plus ada jajanan yang bisa dimakan oleh adik-adikku.
Suatu sore, setelah ashar, aku bingung akan menyiapkan makanan apa untuk berbuka puasa. Karena apa? Ya, persediaan beras habis, minyak habis, tepung habis.
Tidak ada bahan apapun untuk dijadikan makanan. Terlebih lagi, hanya sekadar air minum galon pun habis, dan kami sama sekali tidak ada uang pegangan untuk sekedar beli air minum isi ulang.
Sedihnya, air keran PAM di kontrakan kami waktu itu adalah air yang keruh dan bau, yang tidak layak dijadikan air minum.
“Ayah, sore ini kita buka puasa pakai apa ya? Bingung ih, mau bikin nasi goreng, tapi berasnya habis,” tanyaku sambil tertawa kecil.
Nasi goreng adalah jalan pintas kalau tidak ada bahan yang bisa dimasak sebagai lauk.
“Siap-siap yuk! Kita buka puasa di luar saja,” jawab ayah setelah beberapa saat terdiam.
Sambil naik ke motor, banyak yang aku pikirkan, “Memangnya ayah ada uang untuk beli takjil?” Tapi tidak ada jawaban.
Akhirnya ayah mengajak aku dan adik-adik kecilku untuk jalan-jalan sore dengan harapan akan menemukan muhsinin yang sedang berbagi takjil.
Dan alhamdulillah, atas izin Allah, pada saat pandemi, di mana banyak orang juga sedang sama-sama merasakan kekurangan, masih ada orang-orang baik yang peduli dengan sesama.
Saat itu, kami mendapatkan 2 dus takjil yang berisi 3 buah kurma, air mineral gelas, lontong dan gorengan tempe.
Saat terdengar azan berkumandang, kami segera mencari masjid terdekat.
Walaupun pasti ada sedih yang menyelinap, tapi dengan penuh rasa syukur luar biasa, kami nikmati takjil yang ada.
Saat itu aku merasa menjadi hamba-Nya yang paling beruntung. Sambil berdoa, berharap kedua adikku yang masih di pesantren, juga mamah yang masih berada di tempat kerja tidak merasakan apa yang kami rasakan sore itu.
Berbeda dengan Ramadan tahun ini, aku sering dibuat menangis tersedu-sedu. Bukan karena lapar tidak ada makanan yang bisa dimakan, tapi menangisi diriku yang tak bisa berbuat banyak untuk saudara-saudaraku di Palestina.
Tak terbayangkan trauma-trauma yang mereka rasakan setiap detiknya. Belum lagi serangan-serangan bombardir yang justru lebih masif berkali-kali lipat di bulan Ramadan setiap tahunnya.
Ke mana saja aku selama ini?
Dan hari ini, aku tak lagi membandingkan keadaanku dengan keadaan orang lain. Aku mencari makna ‘Ramadan Terbaik’ versi diriku.
Kumaknai ‘Ramadan Terbaik’ kali ini adalah ketika aku dapat menikmati ibadah ramadanku dengan aman, tanpa teror dari siapapun, tanpa gangguan dari pihak manapun.
Lebih banyak bersyukur dalam keadaan apapun karena keadaan Ramadanku di sini jauh lebih aman daripada saudara-saudara di Palestina.
Semoga Allah terima mujahid-mujahid yang telah ikhlas mewakili kami muslim dunia untuk menjaga Al-Aqsha tercinta.[]