KIKIR itu keserakahan jiwa terhadap rezeki. Kasih sayang Allah terhalang dari jiwa seperti ini. Sehingga jiwa seperti ini tak mengenal kasih sayang terhadap sesama.
Jangan pernah berpikir bahwa kikir itu bisa membuat untung. Justru sebaliknya, kikir akan menyulitkan seseorang untuk berkembang, baik potensi diri maupun rezekinya.
Mungkin secara logika kikir itu menguntungkan. Seperti prinsip ekonomi bahwa semakin kecil pengeluaran maka akan semakin besar yang diperoleh.
Prinsip ini perlahan sudah mulai ditinggalkan banyak pebisnis. Banyak pebisnis justru menggelontorkan “sedekah” besar-besaran agar bisnisnya bisa mengalir lancar.
Contoh, para pemodal besar biasanya melakukan promo istimewa untuk produk barunya. Ia bagikan secara gratis atau ia berikan diskon besar-besaran.
Apakah ia akan rugi karena “pemborosan” itu? Sama sekali tidak. Produknya justru menjadi terkenal dan akrab di pasaran.
Begitu pun trik para pedagang kuliner. Jika mau maju, mereka tak segan-segan untuk memanjakan calon konsumennya: “Silahkan dicoba! Silahkan dicoba! Gratis!”
Bagaimana jika calon konsumen hanya sekadar mencari gratisan saja tanpa akan membeli. Hal itu tak jadi soal. Karena yang ditarget sementara bukan pembeliannya, tapi kesan kuatnya produk di dalam hati para calon konsumen.
Mungkin saat ini mereka tak membeli. Tapi dengan kesan yang kuat itu, suatu saat alam bawah sadarnya akan selalu tertuju pada produk yang pernah ia cicipi jika suatu saat ia membutuhkan.
Dan rumus “sedekah” ini selalu sukses. Baik dalam jualan produk maupun jualan jasa. Dan trik seperti inilah yang kini kian populer di bisnis moderen.
Begitu pun dengan kesejatian jiwa seorang mukmin. Kalau masih ada tersisa sifat kikir, itu berarti bahwa kesuksesannya masih jauh.
Sukses apa saja. Sukses dalam hubungan sosial, sukses dalam karir bisnis, sukses dalam pendidikan, sukses dalam berkeluarga, dan tentu saja dalam persaudaraan dan persahabatan.
Allah subhanahu wata’ala berfirman, “Siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang sukses.” (QS. Al-Hasyr: 9)
Dasar dari terbebas kikir adalah meyakini bahwa apa yang diterima merupakan titipan. Bukan kepemilikan sebenarnya. Karena pemilik sebenarnya Allah subhanahu wata’ala.
Meski tidak disedekahkan atau dihadiahkan ke orang lain pun belum tentu rezeki akan bertahan menjadi milik kita. Karena kemungkinannya dua: rezeki yang akan pergi meninggalkan kita, atau kita yang akan pergi selamanya meninggalkan rezeki yang telah susah payah dikumpulkan.
Prinsip rezeki yang kita pegang itu tidak ada istilah nol. Kalau rezeki yang dipegang mendekati angka nol, maka rezeki baru sudah siap-siap akan datang lagi.
Jadi, kalau rezeki kita pertahankan untuk tidak berkurang sedikit pun, itu artinya kita menghalangi datangnya rezeki baru yang menunggu bergeraknya rezeki kita mendekati angka nol.
Persoalannya, apakah rezeki yang baru itu sama nilainya dengan yang lama. Karena biasanya yang baru selalu datang lebih besar dari yang lama.
Contoh, selama orang masih lajang, rezekinya akan segitu-gitu saja. Tapi mereka yang menikah apalagi nantinya punya anak, rezekinya akan bertambah: punya rumah, punya perabot, punya kendaraan, dan lainnya yang mungkin tidak dimiliki ketika masih lajang.
Jadi, jika ingin cepat sukses, kikis habis sifat kikir kita. Biarkan setan menangis dengan sifat kikir yang kita kikis. [Mh]