KEIMANAN itu anugerah paling mahal. Ketika iman begitu nikmat, tak satu pun di dunia ini yang bisa menyamainya.
Ada sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang bernama Nu’man bin Muqarrin radhiyallahu ‘anhu. Ia berasal di sebuah wilayah antara Mekah dan Madinah.
Nu’man masuk Islam tergolong telat. Ia tidak mengikuti perang Badar dan Uhud, karena waktu itu ia memang belum masuk Islam. Ia masuk Islam setelah usainya perang Uhud. Tapi setelah itu, tak satu pun peperangan yang luput dalam hidupnya, hingga akhir hayat.
Suatu hari di masa Kekhalifahan Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu. Khalifah mencari-cari Nu’man bin Muqarrin untuk sebuah keperluan. Ternyata, Nu’man sedang shalat di Masjid Nabawi.
Khalifah Umar duduk di samping Nu’man yang sedang shalat. Ia menunggu hingga Nu’man selesai shalat.
“Aku ada tugas untukmu,” ucap Khalifah Umar ketika Nu’man selesai shalat.
“Kalau untuk menjadi stafmu, berada di ruangan, aku tidak mau,” jawab Nu’man.
“Aku menugaskanmu untuk menjadi panglima perang,” ucap Khalifah Umar.
“Nah kalau itu aku mau,” jawab Nu’man begitu lugas.
Khalifah Umar menjelaskan kalau wilayah Persia yang baru ditaklukkan mulai muncul konsolidasi perlawanan. Salah satunya di wilayah Isfahan dan Nahawand, wilayah Persia saat itu.
Nu’man menyambut perintah Khalifah Umar dengan begitu semangat. Melalui rekomendasi khalifah, ia mengumpulkan seluruh pasukannya untuk bersiap di wilayah Kufah, Irak saat ini.
Sebelumnya, Nu’manlah sosok yang begitu berperan dalam penaklukan Persia. Ia bersama beberapa sahabat lain yang menjadi perwakilan pasukan Islam untuk bernegosiasi dengan kaisar Persia.
Ketika berada di kota dekat istana, warga Persia yang gemerlap begitu heran dengan penampilan para sahabat Nabi yang sangat sederhana itu. Mereka memandang dengan kesan melecehkan. Tapi, justru mereka yang dilecehkan inilah yang akhirnya menaklukan.
Setelah semua pasukan siap di Kufah, Nu’man menyiapkan strategi. Salah satunya, kemungkinan akan melakukan pengepungan di istana Sassania di Nahawand.
Benar saja. Para pemberontak di wilayah itu kocar-kacir. Mereka berkumpul di balik benteng besar di sekitar istana Raja Sassania. Padahal, pasukan mereka sangat banyak.
Nu’man dan pasukan melakukan pengepungan. Tapi, berhari-berhari pengepungan, pasukan musuh tak juga menyerang. Sementara untuk merobohkan benteng bukan perkara mudah.
Nu’man membuat strategi tipuan. Dihembuskan isu seolah-olah ada kabar bahwa Khalifah Umar wafat. Oleh karena itu, seluruh pasukan seolah-olah bersedih, putus asa, dan meninggalkan area pertempuran.
Namun, di balik strategi itu, Nu’man sudah merasakan firasat lain tentang dirinya. Ia mengatakan kepada pasukan, “Semoga Allah subhanahu wata’ala memenangkan perang kita ini. Dan semoga, Allah subhanahu wata’ala menganugerahkanku syahid.”
Seluruh pasukan pun seolah membongkar tenda. Mereka tampak sangat sedih dan tak bersemangat. Mereka terlihat seperti akan pulang dengan lunglai.
Pasukan musuh yang berada di balik benteng terpancing. Tak lama ketika pasukan muslim terlihat sedang sibuk membongkar tenda, mereka menyerang secara mendadak. Padahal, ada pasukan lain yang langsung dipimpin Nu’man tengah bersiap tak jauh dari situ.
Akhirnya, terjadilah ‘benturan’ dua pasukan yang sangat dahsyat. Pasukan musuh merasa terjebak. Tapi, mereka sulit untuk kembali. Mau tidak mau, mereka harus menghadapi pasukan Nu’man.
Pasukan Islam menang dalam pertempuran dahsyat ini. Persis, seperti doa yang dipanjatkan panglima mereka: Nu’man bin Muqarrin. Begitu pun syahidnya beliau.
Kabar kemenangan dan syahidnya Nu’man akhirnya tiba ke telinga Khalifah Umar. Ia pun mengumumkan berita duka itu di mimbar masjid Nabawi. Ia menyampaikannya dengan menangis di depan para sahabat yang hadir. Peristiwa itu terjadi di tahun ke-21 hijriyah.
**
Untuk sebagian orang, nikmat Iman adalah puncak dari segala nikmat. Tak ada kenikmatan yang lebih ‘manis’ dari itu.
Ia tetap bergairah menebus segala kesusahan hidup, pahitnya segala cobaan, bahkan kematian sekali pun; demi bisa meraih ridha Allah dalam hidup ini.
Tak ada pangkat yang lebih mulia dalam hidup ini kecuali wafat dalam keadaan husnul khatimah: sebuah akhir yang baik dalam ridha Allah subhanahu wata’ala. [Mh]





