KENIKMATAN adalah apa yang disukai manusia. Tapi, ketika kenikmatan yang dimiliki tak membahagiakan, saat itulah kenikmatan sedang inflasi.
Jangan samakan kenikmatan dengan kebahagiaan. Kenikmatan adalah kesenangan yang dimiliki. Sementara, kebahagiaan merupakan kepuasan hati.
Pertanyaannya, apa ada banyak kenikmatan tidak memuaskan hati? Lihatlah orang-orang kaya di sekitar kita. Jarang di antara mereka yang berpuas hati: bersyukur dan gemar menularkan kenikmatannya ke orang lain.
Yang umumnya terjadi, justru sebaliknya. Semakin kaya, justru ingin lebih kaya lagi. Tak ubahnya seperti orang haus yang terus meminum air laut. Semakin diminum, semakin haus.
Kenapa bisa seperti itu? Itulah yang disebut dengan keberkahan. Yaitu, kepuasan hati terhadap apa yang Allah anugerahkan.
Jangan sekali-kali menafsirkan banyaknya kenikmatan sebagai kesuksesan hidup. Justru, ada kelimpahan nikmat yang menunjukkan kegagalan hidup. Islam menyebutnya sebagai istidraj.
Allah subhanahu wata’ala berfirman, “Maka ketika mereka melupakan peringatan yang telah diberikan, Kami pun membuka semua pintu (kesenangan) untuk mereka. Ketika mereka bergembira dengan apa yang diberikan, Kami siksa mereka secara tiba-tiba, maka mereka pun terdiam putus asa.” (QS. Al-An’am: 44)
Jadi, ada berlimpahnya kenikmatan justru di saat seseorang lupa dengan Allah. Ini bukan anugerah, tapi siksaan. Karena dengan begitu, orang merasa benar dengan kelalaiannya. Ia akan terus lalai hingga ajalnya tiba. Na’udzubillah.
Semua pihak yang memusuhi Nabi dan Rasul umumnya orang kaya dan berkuasa. Ada Namruz di masa Nabi Ibrahim. Ada Fir’aun di masa Nabi Musa. Ada Jalut di masa Nabi Daud. Dan ada Abu Jahal di masa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.
Coba periksa apakah harta yang Allah anugerahkan menggiring kita untuk rajin ibadah. Rajin bersedekah. Terus bersemangat dalam dakwah, dan lainnya. Jika tidak, maka itulah yang disebut istidraj.
Inflasi kenikmatan juga dirasakan ketika seseorang tak lagi mampu membedakan mana halal dan haram. Saat itulah kenikmatan tak memberikan kebahagiaan.
Kebahagiaan adalah nilai mutu dari kenikmatan, nilai kualitatif dari banyaknya kenikmatan. Indikatornya sederhana: syukur. Ketika seseorang bersyukur, ia sedang meraih kebahagiaan.
Jadi, bukan kenikmatan yang membawa kebahagiaan. Tapi kebahagiaan yang membawa kenikmatan baru. Yaitu, kepuasan hati dan semakin ridha dengan Allah subhanahu wata’ala. [Mh]