CACAT fisik tak selalu menunjukkan suramnya masa depan anak. Selalu ada hikmah di balik ujian fisik.
Ada seorang anak laki-laki Palestina yang menakutkan Israel. Mimpi buruk dari anak itu masih meneror Israel hingga kini.
Ia lahir di Al-Jura, sebuah desa kecil di Ashkelon yang pada tahun 1936 itu masih menjadi wilayah Palestina. Ayahnya bernama Abdullah Yasin.
Ketika terjadi penguasaan wilayah Palestina oleh Israel pada tahun 1948, keluarga tersebut mengungsi ke Gaza. Dan di Gazalah, anak dari Abdullah Yasin itu tumbuh dan berprestasi.
Tapi, di usianya yang 16 tahun, anak itu mengalami kecelakaan karena olah raga gulat. Tulang belakangnya rusak hingga ia divonis dokter cacat seumur hidup. Padahal saat itu, ia sudah diterima Universitas Al-Azhar Kairo sebagai mahasiswa baru.
Keluarganya tentu merasa gelisah. Bagaimana masa depan anak ini dengan cacat seumur hidup. Ia harus selalu dengan kursi roda kemana pun pergi.
Tapi karena keuletan dan kecerdasan anak ini, ia bisa belajar dengan otodidak. Ia belajar dari banyak buku. Bisa dibilang, anak ini dinilai sebagai pemuda yang paling cepat dan rajin membaca. Tak heran jika mesti cacat, wawasannya begitu luas: tentang agama, filsafat, ekonomi, sosiologi, dan politik.
Di usianya yang duapuluhan, sebuah sekolah di Gaza memintanya untuk mengajar Bahasa Arab. Awalnya, sekolah itu agak ragu khawatir ia dilecehkan. Tapi, ternyata justru sebaliknya. Ia menjadi guru favorit untuk banyak siswanya.
Di usianya yang ke-24, ia menikah dengan seorang gadis bernama Halima. Dari pernikahan ini, keduanya dianugerahi Allah 11 anak: 3 laki-laki dan 8 perempuan.
Dalam keterbatasannya yang tak pernah lepas dari kursi roda, ia tetap aktif di organisasi. Pada tahun 1987, bersama dengan aktivis Ikhwan, ia mendirikan organisasi perlawanan terhadap Israel. Namanya Hamas.
Hanya dua tahun setelah deklarasi perlawanan itu, beliau ditangkap Israel untuk yang kedua kalinya. Tidak tanggung-tanggung, ia dijatuhi hukuman seumur hidup. Dan organisasi bentukannya dicap sebagai organisasi teroris.
Cap teroris ini bukan hanya dari Israel, tapi juga dari berbagai negara besar: Amerika, Inggris, Uni Eropa, Jepang, Australia, dan lainnya.
Tapi karena alasan kesehatan dan adanya kesepakatan dengan sejumlah negara Arab, ia dibebaskan dengan catatan. Ia dibebaskan setelah selama 9 tahun mendekam di penjara Israel.
Namun, meski dengan ancaman dan catatan, mujahid ini tetap aktif memimpin dan membina Hamas. Ia tidak pernah bersembunyi dari rumahnya, dan tak pernah menghilang dari rutinitasnya seperti ke masjid untuk shalat berjamaah.
Pada tahun 2003, sebuah rudal yang ditembakkan dari jet tempur Israel melesat ke sebuah gedung di mana ia tinggal. Sejumlah gedung di sekitar rumahnya itu hancur. Tapi, ia selamat.
Satu tahun kemudian, Israel kembali membidik mujahid yang cacat fisik ini. Sebuah helikopter Apache menembakkan rudal ke arahnya saat keluar dari masjid usai shalat Subuh berjamaah. Masjid itu hanya berjarak seratus meter dari rumahnya.
Mujahid ini syahid bersama dengan sejumlah orang yang berada di sekitarnya. Puluhan lainnya mengalami luka-luka termasuk dua anak laki-lakinya.
Sekjen PBB saat itu, Kofi Annan bersama 31 negara mengutuk pembunuhan brutal itu. Sang mujahid memang sudah syahid, tapi ‘karya’nya masih tetap menghantui Israel dan Amerika, hingga saat ini.
Beliau adalah Syaikh Ahmad Ismail Hasan Yasin, atau biasa dipanggil Syaikh Ahmad Yasin rahimahullah.
**
Jangan pernah putus harapan dengan keadaan anak yang cacat. Meski dengan berbagai kelemahan fisiknya, ia bisa menjadi sosok besar yang dihormati dunia.
Bantu mereka dengan kepercayaan diri untuk bisa bersaing dengan yang normal, doakan, dan berikan kesempatan. Insya Allah, selalu ada rahasia kebaikan di balik ujian kehidupan. [Mh]





