PERBEDAAN selalu ada dalam berbagai hal. Termasuk penafsiran tentang agama. Dan kalau di perkara cabang, rasanya apa pun bisa berbeda.
Suatu hari, Nabi melepas kepergian sekelompok sahabat pilihan menuju perkampungan Bani Quraizhah. Sebelum berangkat, ada pesan yang disampaikan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan, “Janganlah seorang di antara kalian yang shalat Ashar kecuali di perkampungan Bani Quraizhah.” (HR. Bukhari)
Saat tiba masuk waktu Ashar, para sahabat ini terpecah dua pendapat. Mereka belum tiba di kampung Bani Quraizhah tapi waktu Ashar mungkin akan berakhir.
Satu pendapat mengatakan, kita shalat Ashar terlebih dahulu, baru kemudian melanjutkan perjalanan. Sementara pendapat lainnya mengatakan, tidak bisa. Karena pesan Nabi jelas, yaitu shalat Asharnya di kampung Bani Quraizhah.
Akhirnya sebagian ada yang shalat Ashar di perjalanan, dan kemudian mereka menyusul rombongan yang terus berangkat. Sebagiannya lagi benar-benar shalat Ashar di perkampungan Bani Quraizhah meskipun sudah masuk waktu Maghrib.
Ketika mereka sudah kembali lagi bertemu Nabi, hal ini mereka ceritakan. Tapi, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak membenarkan salah satunya dan menyalahkan yang lain.
Inilah contoh perbedaan pendapat dalam agama yang terjadi di saat Nabi masih hidup. Tentunya, akan lebih banyak lagi perbedaan di saat Nabi sudah lama wafat.
Menariknya, dua kelompok sahabat ini tidak saling menyalahkan meskipun mereka saling berbeda. Satu kelompok membiarkan kelompok lainnya untuk shalat Ashar di jalan, dan satunya lagi membiarkan pendapat yang tetap akan shalat Ashar di Bani Quraizhah meskipun sudah masuk waktu Magrib.
Hal ini menunjukkan kedewasaan cara bersikap para sahabat Nabi, radhiyallahu ‘anhum. Karena yang mereka perselisihkan adalah semata masalah penafsiran. Bukan hal pokok seperti tidak shalat Ashar di mana pun.
Kedua, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak membenarkan atau menyalahkan. Hal ini karena para sahabat memahami tentang apa yang disebut ijtihad. Yaitu, mengambil cara menurut pemahaman yang dimiliki, selama tidak bertentangan dengan ajaran agama.
Islam mengajarkan bahwa siapa yang berijtihad, jika benar, maka akan mendapatkan dua pahala. Dan jika salah, akan mendapatkan satu pahala. Dan, tidak berdosa.
Hal inilah yang menjadikan para ulama setelah generasi para sahabat terbiasa dalam perbedaan penafsiran, terutama masalah fikih. Masing-masing pihak saling menghormati dan tidak saling menyalahkan.
Dalam ahlus sunnah, setidaknya ada empat mazhab yang berbeda dalam penafsiran tentang fikih. Yaitu, mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali.
Namun mereka saling menghormati. Dalam kitab rujukan mereka, dikatakan, jika ada pendapat yang lebih shahih maka ikutilah dia. Tinggalkan pendapat saya.
Inilah contoh kedewasaan dan kearifan yang telah diperlihatkan para sahabat Nabi dan ulama setelah mereka.
Bukan sebaliknya. Jika tidak sesuai dengan kelompoknya, maka pernyataan buruk bisa keluar begitu saja. Padahal, yang dituduhkan salah itu adalah juga ulama dan orang-orang beriman.
Jadi, biasakan dengan perbedaan, selama ada dalil yang bisa dipertanggungjawabkan. Hormati perbedaan. Carilah persamaan, bukan mengotak-atik perbedaannya. [Mh]