TUBUH kita dirancang untuk bergerak. Jiwa kita dirancang untuk bertempur melawan takut. Jangan malas bergerak, dan jangan ragu untuk maju.
Ada yang unik dari tubuh kita. Kalau tubuh tidak dipaksa untuk bergerak, maka akan lemah dan sakit. Begitu pun dengan jiwa kita. Kalau tidak diarahkan untuk bertempur melawan musuh, jiwa kita akan kerdil.
Perhatikan perbedaan antara tubuh orang kota dengan orang desa. Orang kota lebih ringkih. Sementara orang desa lebih tahan banting.
Kenapa? Bukan karena tentang gizi. Bukan pula karena orang desa lebih nyenyak tidur. Tapi karena orang desa lebih banyak ‘memaksa’ tubuhnya untuk bergerak daripada orang kota.
Perhatikan pula desain syariah yang ditujukan untuk tiap individu yang beriman. Syariah lebih banyak ‘memaksa’ tubuh kita untuk bergerak.
Misalnya, waktu shalat Subuh yang teramat pagi. Tidur memang bagus, tapi lebih bagus lagi ‘dipaksa’ untuk bergerak saat fajar sudah tiba.
Bukan hanya dipaksa bergerak. Tapi juga dipaksa untuk disiram dengan air dingin atau mandi. Kalau saja kita menuruti apa kata nafsu, maka kita akan memanjakan tubuh kita.
Begitu pun dalam syariah puasa Ramadan. Makan dan minum secara rutin memang bagus untuk tubuh kita. Tapi ‘memaksa’ tubuh untuk istirahat makan dan minum di siang hari akan jauh lebih bagus lagi. Setidaknya selama satu bulan penuh itu.
Perhatikan pula syariah Haji. Mana dari sekian ritual haji yang tidak bergerak? Mana dari sekian ritual haji yang tidak berpanas-panasan? Mana dari sekian ritual haji yang tidak melelahkan?
Pertanyaannya, apakah setelah selesai menunaikan ibadah haji orang akan sakit? Apakah setelah berpuasa Ramadan sebulan penuh orang akan merasakan busung lapar? Apakah karena terbiasa bangun dan mandi sebelum Subuh orang akan rematik?
Justru sebaliknya. Ibadah haji menjadikan tubuh dan jiwa kita begitu bugar. Puasa Ramadan menjadikan tubuh kita seperti selesai ikut terapi kesehatan. Dan bangun dan mandi sebelum Subuh justru menjadikan tubuh kita sangat sehat dan enerjik.
Jadi, jangan manjakan tubuh kita. Dan juga, jangan manjakan jiwa kita.
Islam datang di generasi sahabat Rasul juga dalam bentuk ‘paksaan’ tubuh dan jiwa mereka untuk selalu bergerak.
Di periode Mekah, mereka memang tidak berperang. Tapi perjalanan hijrah mereka begitu sangat melelahkan.
Begitu pun ketika mereka tak lagi hijrah. Jumlah program jihad mereka bisa dibilang melampaui kewajaran yang bisa mereka lakukan. Bayangkan, selama sepuluh tahun di Madinah, sejarah mencatat terdapat 85 kali peperangan, besar dan kecil.
Padahal, mereka bukan berasal dari sekolah militer. Mereka hanya pedagang biasa, peternak biasa, dan peladang biasa.
Syariah dan dakwah ‘memaksa’ generasi masa itu menjadi sosok hebat yang tak pernah ada bandingnya di era generasi mana pun.
Jadi, masih ingin memanjakan tubuh dan jiwa kita dengan ‘paket-paket’ istirahat dan bersantai? Silahkan jika kita tidak ingin menjadi super hebat seperti para sahabat Rasulullah radhiyallahum ajma’in. [Mh]