ChanelMuslim.com- Ilmu agama itu barang mewah yang mulai disia-siakan. Ia seperti barang antik yang menjadi menarik kalau disimpan. Dipajang, dihias, tapi tak disentuh sedikit pun.
Akhir zaman ini agama tak ubahnya seperti daun pisang yang dikait orang lantaran diri tak berpayung ketika hari hujan. Manakala hujan usailah sudah, daun itu pun dicampakkan. Diinjak pula orang nan lalu.
Seperti itulah nasib ilmu agama saat ini. Seperti buah yang ada musimnya. Tapi seseringnya musim buah, ia tak akan lebih dari satu tahun sekali. Bahkan bisa hanya seumur hidup pelaksanaannya.
Ketika bulan Ramadan datang, agama tiba-tiba semarak. Tiba-tiba menjadi pusat perhatian. Media massa elektronik menjadikannya barang dagangan yang laris manis. Agama pun saat itu bergeser. Dari idealnya sebagai tuntunan, mulai berubah hanya sekadar tontonan.
Agama menjadi menarik karena lucu. Agama menjadi menarik saat itu karena dibincangkan oleh selebritis. Cantik, tampan, lawakan, dan musik. Orang banyak menonton bukan karena isinya, tapi karena kemasannya.
Bayangkan ketika di zaman jauh sebelum kehidupan menjadi serba wah saat ini. Seorang Salman Al-Farisyi rela berpergian ribuan kilometer demi untuk menemui Nabi, belajar agama yang ia cintai.
Seorang ulama di masa Imam Malik bernama Abdurrahman bin Qasim juga menjadi sosok lain yang patut ditiru. Setiap hari, tak ada waktu libur untuk belajar dengan Imam Malik. Bagaimana pun caranya.
Kalau mengikuti acara taklimnya, Abdurrahman selalu ada di posisi depan. Tapi itu saja belum cukup. Masih begitu banyak hal yang ia ingin diskusikan dengan sang guru. Tapi sudah menjadi adab saat itu, seorang murid tak bisa asal mendatangi gurunya kapan saja ia mau. Karena rutinitas sang guru sudah sangat padat dengan kajian dan tulisan.
Pernah ia datangi masjid di mana Imam Malik shalat Subuh. Ia pikir, saat menjelang Subuh di masjid adalah waktu ideal untuk bisa diskusi. Sepi, dan belum banyak murid-murid yang datang.
Sayangnya, perkiraan Abdurrahman itu salah besar. Satu jam sebelum shalat Subuh, masjid sudah luber dengan begitu banyak orang yang sudah siap menanti kedatangan sang guru. Jangankan bisa diskusi, mendekati posisi di mana Imam Malik berada pun sudah sangat susah.
Lalu bagaimana caranya agar ia bisa menggali ilmu melalui diskusi khusus dengan sang guru. Abdurrahman pun menemukan caranya.
Sekitar dua jam sebelum Subuh, ia sudah menunggu Imam Malik di depan pintu. Ia gelar tikar agar menunggunya bisa dimanfaatkan untuk zikir dan kegiatan yang lain. Ia tidak pernah berani mengetuk pintu rumah itu. Yang ia lakukan hanya menunggu.
Setiap hari, Imam Malik selalu melalui pintu itu untuk berangkat ke masjid sekitar satu jam sebelum Subuh tiba. Nah, saat itulah, Abdurrrahmanlah menjadi orang pertama yang menyampaikan salam ke sang guru, membawakan apa saja milik sang guru yang bisa ia bawakan.
Satu hal yang lebih penting dari semuanya. Sepanjang jalan menuju masjid, Abdurrahman bisa menyampaikan 2 hingga 4 pertanyaan. Diskusi yang santai karena dilakukan sambil berjalan. Tapi buat Abdurrahman, diskusi itu jauh lebih berharga dari apa pun yang ia peroleh dalam setiap hari yang ia lalui.
Begitu pun dengan para ulama lain di sekitar zaman itu. Adalah Imam Syafi’i yang rela menempuh perjalanan dari Palestina ke Irak untuk menimba ilmu dari Imam Malik. Usia yang masih sangat belia ketika ia diantar ibunya mendekati lokasi tempat sang guru tinggal.
Apa saja yang berharga dimiliki sang ibu telah dijual. Dijual agar uangnya bisa mencukupi biaya belajar ilmu agama. Lalu bagaimana dengan biaya makannya? Itu urusan ke sekian yang tak menjadi prioritas. Yang penting, puteranya bisa belajar dengan guru terbaik di zamannya.
Berkelana ratusan hingga ribuan kilometer demi ilmu sudah menjadi hal biasa di zaman itu. Seperti Imam Bukhari yang tinggal di kawasan sekitaran Afghanistan, rela menempuh perjalanan nan jauh ke Mekah dan kota-kota ilmu lain demi belajar agama.
Itulah mereka. Bagaimana dengan kita saat ini? Adakah perjalanan jauh pernah dilakukan demi ilmu agama. Adakah bersusah payah pernah dilakukan demi diskusi dengan ulama yang mumpuni.
Tampaknya sudah sangat jauh dengan seperti zaman dulu. Jangankan semua yang susah payah itu demi sekadar ilmu agama, diundang hadir majelis taklim terdekat pun susahnya minta ampun.
Padahal, jaraknya tak lebih dari satu kilometer. Kendaraan pun sangat memadai. Tak perlu repot-repot soal konsumsi, karena di lokasi sudah biasa disediakan gratis. Tapi…
Agama memang sudah tak ubahnya seperti daun pisang yang dikait orang lantaran diri tak berpayung ketika hari hujan. Manakala hujan usailah sudah, daun itu pun dicampakkan. Diinjak pula orang nan lalu. (Mh)