HARTA selalu menjadi idaman banyak orang. Bahkan, hidup ini seperti kesibukan memburu harta. Tak banyak yang menyadari bahwa harta bisa mengeraskan hati.
Perhatikanlah hubungan kakak beradik saat orang tua mereka masih ‘utuh’. Mereka begitu harmonis.
Namun, ketika keduanya telah tiada, ada semacam ‘pemanas’ yang membuat mereka mudah emosi. Pemanas itu adalah jatah warisan orang tua.
Begitu pun sebuah organisasi atau perkumpulan manusia. Bisa berbentuk ormas, partai, atau hanya sekadar paguyuban.
Ketika perkumpulan mereka masih ‘kering’ atau minim harta, hubungan mereka begitu solid. Tapi ketika sudah ‘basah’ alias makmur, hubungan pun mulai ‘rasional’. Siapa yang berkuasa, dia yang lebih berjaya.
Fenomena ini bukan hal baru. Sudah terjadi ribuan tahun lalu. Bahkan di masa awal keberadaan umat manusia.
Di masa Nabi Musa alaihissalam, hal ini pernah terjadi. Ketika umat Nabi Musa dalam kungkungan Firaun, mereka begitu solid, soleh, dan taat kepada Nabi.
Namun, manakala tak ada lagi Firaun, ketika pintu-pintu harta telah terbuka, segala kemaksiatan bahkan kemusyrikan mereka lakukan.
Begitu pun di masa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Nabi tidak mengkhawatirkan umatnya akan menjadi musyrik karena hal itu sulit terjadi. Tapi Nabi mengkhawatirkan mereka akan berebut harta dan kekuasaan, sehingga mereka pun saling bermusuhan.
Kekhawatiran Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun akhirnya terbukti. Dua dari empat Khalifah terbunuh karena menjadi korban perebutan harta dan kekuasaan. Mereka adalah Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhuma.
Kenapa di masa Abu Bakar dan Umar tak terjadi perebutan. Karena di masa keduanya, memang belum terlihat adanya kelimpahan harta. Sementara di masa Umar tak terjadi karena Umar begitu tegas.
Selepas berlalunya masa empat Khalifah itu, pergantian kekuasaan umat Islam selalu diiringi dengan peperangan dan pembunuhan. Biang keroknya tak lain adalah harta dan kekuasaan. Kecuali, orang-orang yang Allah lindungi dari sifat buruk itu.
Harta memang selalu punya dua sisi. Ada sisi maslahat atau kebaikan. Karena memakmurkan dunia dengan dakwah pun harus dengan harta.
Tapi ada sisi lain yang tarikannya jauh lebih kuat dari maslahatnya. Yaitu, jebakan mencintai kehidupan duniawi. Saat itulah hati mengeras. Tak ada lagi hubugan persaudaraan. Tak ada lagi semangat untuk memakmurkan dakwah dan Islam.
Jadi, kadang logika yang mengatakan kalau banyak harta akan banyak kiprah dakwah, bisa jadi hanya sekadar imajinasi. Ketika harta berlimpah, jangankan untuk dakwah, untuk ibadah pun terasa begitu susah.
Jadi, ketika kita hanya memiliki sedikit ‘modal’ untuk berbuat baik, lakukanlah sebisa mungkin. Karena boleh jadi, kita tidak akan melakukan kebaikan apa pun ketika ‘modal’nya berlimpah. [Mh]