HAMBATAN utama dalam hidup seseorang bukan dari mana-mana. Melainkan dari dalam diri sendiri.
Hidup ini memang ujian. Inilah ladang amal soleh kita agar bisa dipanen di akhirat kelak.
Imam Ghazali rahimahullah mengatakan, “Dunia adalah ladang akhirat. Setiap yang Allah ciptakan di dunia bisa dijadikan bekal untuk akhirat.”
Kita shalat, zakat, sedekah, membaca Al-Qur’an, berdakwah, berzikir, menuntut ilmu, bekerja, dan ibadah lainnya adalah ladang pahala yang akan dipanen di akhirat esok.
Semua ibadah itu ada aneka hambatannya. Sayangnya, jarang dari kita yang menyadari bahwa hambatan utamanya bukan dari luar. Melainkan dari dalam diri sendiri.
Misalnya malas. Tak ada yang bisa menghilangkan hambatan ini kecuali diri kita sendiri. Sebanyak apa pun ajakan dan ancaman dari orang lain, malas tak akan kunjung hilang jika kita tetap memeliharanya dengan ‘baik’.
Contoh lain, rasa takut. Begitu banyak kesempatan yang sia-sia begitu saja karena takut mengambil risiko. Padahal tak mungkin langkah bisa diayunkan jika takut dengan jatuh.
Betapa banyak generasi muda yang memiliki banyak skill untuk wiraswasta, tapi kesempatannya hilang begitu saja karena takut risiko: rugi, bangkrut, dan lainnya.
Kalau saja tak ada dorongan rasa cinta, mungkin tak ada yang ingin membangun rumah tangga. Hal ini karena adanya rasa takut banyak risiko: keuangan, keharmonisan, dan kesehatan anak-anak yang akan dilahirkan.
Jadi, hidup ini memang dirancang dengan banyak kesusahan. Solusinya hanya satu: hadapi dan jangan lari. Dan keberanian itu ada dalam diri sendiri.
Bisa dibilang, selama tiga belas tahun dakwah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di Mekah adalah dalam rangka mengikis hambatan di dalam diri sendiri itu. Yaitu pada diri generasi pertama kaum muslimin di Mekah.
Mulai dari keyakinan hidup, tujuan hidup, cara hidup, dan keberanian menghadapi risiko-risiko dari idealisme hidup yang dibangun.
Allah subhanahu wata’ala berfirman, “Sesungguhnya Allah tak akan mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra’d: 11)
Jadi, kesuksesan itu bukan pada seberapa besar pengetahuan, keterampilan, dan kecanggihan alat yang kita miliki. Melainkan pada keyakinan, keberanian, kegigihan; atas dasar keimanan pada Allah subhanahu wata’ala.
Keterampilan dan pengetahuan mengikuti keyakinan. Sarana dan alat mengikuti kegigihan. Dan kesuksesan mengikuti tawakal yang sempurna pada Allah subhanahu wata’ala.
Karena itu, jangan lari dari tantangan dan risiko hidup. Memang berat dan sulit. Tapi yakinlah bahwa bersama kesukaran itu ada kemudahan.
Kalau belum coba, kenapa harus mundur! [Mh]