ChanelMuslim.com- Takdir itu niscaya. Tugas kita hanya ikhtiar dan doa. Hadapi semua yang nyata, jangan lari dari problema hidup kita.
Hidup itu seperti seni menyiasati garis hidup. Berbeda dengan garis-garis pada buku tulis, garis hidup tidak kasatmata. Baru bisa terlihat dan terasa ketika nyata di depan kita.
Bukan wilayah kita untuk mengutak-atik garis-garis itu. Selain memang di luar kemampuan, upaya itu hanya akan membuat kita lari dari kenyataan. Baik lari dalam arti nyata, maupun lari dari dimensi alam sadar kepada mimpi.
Orang bijak menganggap, semua titik awal garis itu bukan sebagai sesuatu yang patut disesali. Tapi harus disikapi positif sebagai tantangan yang membentang. Seperti para pelari yang menempati titik start-nya masing-masing, di situlah titik awal ikhtiar kita.
Ada yang titik awalnya di meter 0, ada yang di meter 1, 2, 3, dan seterusnya. Dan nilai hidup itu tidak menganggap penting dari meter keberapa ia dimulai. Yang penting niat, proses, dan endingnya.
Bayangkan, seorang pembunuh 100 nyawa bisa begitu bernilai hidupnya hanya dalam hitungan mungkin jam. Ia taubat, dan itulah titik awal hidupnya. Ia bersikeras untuk hijrah menuju hidup yang baik. Tapi garis hidup telah menentukannya wafat dalam perjalanan hijrah.
Malaikat berbeda penilaian tentang orang ini. Apakah ia dapat rahmat atau azab. Hingga perlu diukur, lokasi mana yang lebih dekat: tempat buruk yang ia tinggalkan dan tempat baik yang ia tuju. Ternyata ia lebih dekat dengan tempat baik yang ia tuju, meski hanya selisih jengkal.
Sekarang, garis hidup yang menjadi titik start kita sudah jelas. Yaitu, semua modal yang dimiliki plus minusnya. Sayangnya, nilai plus minus menurut kita berbeda dengan menurut Allah subhanahu wata’ala.
Allah tidak menganggap nilai duniawi sebagai faktor yang patut diperhitungkan, sementara kita sebaliknya. Begitu pun dengan endingnya. Allah tidak mempersoalkan unsur duniawi di ending itu, sementara kita juga sebaliknya.
Dengan kata lain, variabel dominan yang menjadikan kita lari dari kenyataan hidup lebih karena hitung-hitungan duniawi. Padahal, variabel itu begitu semu dan tidak permanen. Tentu di banding dengan goal hidup kita untuk masa depan akhirat yang jauh dan sangat jauh lebih baik dari yang ada saat ini.
Tidak ada yang final di dunia ini. Termasuk soal sedih dan bahagia. Tidak ada sedih yang selamanya. Begitu pun dengan bahagia.
Tidak berarti bahwa orang tua miskin hanya akan melahirkan anak yang miskin. Begitu pun dengan orang tua yang kaya hanya akan melahirkan anak yang kaya. Sedih dan bahagia hanya pergiliran, tak ubahnya seperti halte-halte dalam rute sebuah bus kehidupan.
Lagi-lagi, bukan kapasitas manusia mengutak-atik garis hidup. Tugas kita hanya ikhtiar dan doa. Jangan pernah sesali di titik mana kita mulai. Tapi targetkanlah di titik mana kita akan berakhir. (Mh)