ChanelMuslim.com- Puncak shalehnya ruhani adalah ibadah. Puncak shalehnya jasad dan ilmu adalah jihad. Dan merosotnya iman ketika hati tak bergairah untuk berada di dua puncak itu.
Ibadah dan jihad adalah ciri yang menyatu dalam diri seorang mukmin. Kalimat bijak menyebutnya dengan, ruhbaanan billaili wa fursyaanan binnahaari. Malamnya sebagai ahli ibadah, siangnya sebagai pejuang.
Kalimat bijak itu tidak sekadar slogan atau pepatah indah. Tapi, benar-benar telah terwujud dalam diri para sahabat radhiyallaahu ‘anhum, para tabiin, dan salafus shaleh.
Itulah rangkaian estafeta generasi mulia umat ini. Sambung menyambung dalam pewarisan amal shaleh yang istimewa. Dalam hal ibadahnya. Dalam hal jihadnya.
Ada kisah menarik dua tabiin mulia. Ia bernama Fudhail bin Iyadh dan Abdullah Ibnu Mubarak. Merekalah dua sosok ulama yang berada di dua puncak yang berbeda pada awalnya.
Fudhail nyaris tak pernah menyingkir dari lingkungan Masjidil Haram. Hari-harinya tak pernah luput dalam kekhusukan ibadah. Siang dan malam.
Sujudnya sangat panjang. Kalau sudah asyik dalam keakraban ibadah, ia seperti berada di dunia lain yang terisolasi dari sekelilingnya.
Ia kerap menangis dalam dekapan kesyahduan munajat. Bekas aliran air mata membekas di antara dua sudut pipinya. Hal itu seolah menunjukkan bahwa sebagian besar waktunya habis untuk taqarrub, berdekatan dengan Allah subhanahu wata’ala.
Belum cukup dengan itu, Fudhail kerap menyibukkan dirinya melayani jamaah haji yang datang dari penjuru negeri. Ia bersusah payah menyediakan air untuk mereka.
Di saat momen haji itulah, Fudhail bertemu dengan sahabatnya, Abdullah Ibnu Mubarak. Abdullah datang dari lokasi yang jauhnya ribuan kilometer untuk menunaikan ibadah haji.
Saling melepas akrab keduanya pun terjadi. Mereka pun menceritakan kesibukan masing-masing dalam dunia kesehariannya.
Terungkaplah keseharian Furdhail yang seperti di atas. Dan, terungkap pula keseharian Abdullah yang sangat berbeda dengan sahabatnya.
Kalau Fudhail nyaris tak pernah lepas dari ibadah di Masjidil Haram, Abdullah nyaris tak pernah luput dari medan jihad. Kalau Fudhail senantiasa dalam dunia yang lembut, Abdullah selalu berada dalam dunia keras dan berbahaya.
Saat akan berpisah, Abdullah memberikan sahabatnya sepucuk surat. Ia berharap sahabatnya membaca saat ia sudah berada jauh dalam perjalanan pulang.
Surat itu kira-kira berbunyi…
Wahai sahabatku yang mulia, pelayan Masjidil Haram yang agung…
Alangkah nyamannya ibadahmu.
Kalau amalmu kerap dikelilingi wewangian nan semerbak, amal kami dikelilingi guncangan dan debu yang menyergap.
Kalau amalmu kerap mengalirkan air mata, amal kami kerap mengalirkan darah.
Fudhail pun tersadar dengan kekhilafannya selama ini. Ia pun beristigfar atas kelalaian itu. Tak berapa lama, ia menaiki kuda untuk mengejar sahabatnya dalam medan jihad.
Kita tidak berada di dua puncak itu. Tidak dalam keasyikan ibadah super istimewa seperti Fudhail. Tidak juga dalam amal jihad super istimewa seperti Abdullah.
Kita seperti lebih banyak dalam dunia lain yang tidak mencirikan itu. Ibadah sekadarnya. Jihad pun nyaris tak terbayang sedikit pun.
Namun, kita tak pernah merasa malu dalam kepantasan diri untuk bisa meraih kenikmatan surga. Seolah kita sudah pasti masuk surga.
Walaupun, nyaris tak ada amal yang patut dibanggakan. Ibadah sekadarnya. Cita-cita jihad pun tak ada. [Mh]