ChanelMuslim.com- Bendera Tauhid tiba-tiba menjadi pusat perhatian dalam sepekan ini. Istilah yang mungkin baru untuk sebagian besar orang kini menjadi sesuatu yang akrab dan familiar.
Sebelum ini, orang hanya menganggap biasa dengan Bendera Tauhid. Bahkan, sebagiannya lagi menghubungkan keberadaan ini sebagai entitas Hizbut Tahrir, khususnya di Indonesia.
Seolah menjadi seperti dua sisi muka dalam sebuah koin, satu sisi sebagai HTI dan satunya lagi Bendera Tauhid. Hal ini karena nyaris belum ada ormas Islam yang mempopulerkan bendera ini selain HTI. Bahkan hal itu terjadi di luar Indonesia.
Barulah sepekan ini orang menyimak, mengkaji, dan mendiskusikan lebih dalam tentang sosok Bendera Tauhid. Secara sederhana, orang akhirnya memisahkan antara Bendera Tauhid dengan bendera HTI. Kalau yang polos Bendera Tauhid, dan yang selainnya sebagai identitas ormas yang tertulis di dalamnya.
Pemisahan ini mungkin sah-sah saja. Menariknya, apa yang disampaikan mantan petinggi HTI, Ismail Yusanto, beberapa waktu lalu tentang bendera ini. Menurutnya, HTI tidak memiliki bendera. Itu murni disandarkan pada bendera Rasulullah saw., Ar-Royah dan Al-Liwa.
Benarkah? Akhirnya, orang merujuk pada apa yang disampaikan Nabi saw. tentang sosok bendera ini. Dan hadis dari Ibnu Abbas r.a. pun menjadi kajian yang paling menarik beberapa hari ini.
Dalam riwayat Imam Tirmidzi, Ibnu Abbas mengatakan, “Adalah (bendera) Royah Rasul berwarna hitam dan Liwanya (bendera) berwarna putih.” Ulama mensahihkan hadis ini.
Pertanyaan berikutnya, apakah di Royah dan Liwa itu terdapat kalimat Tauhid seperti yang ada dalam bendera Tauhid saat ini?
Para ulama berbeda pendapat soal ini. Ulama berpendapat bahwa tentang tulisan Kalimat Tauhid ini dengan kata-kata ‘maktuubun ‘alaih’ (tertulis padanya) kalimat Tauhid semua dhaif. Kecuali, hadis yang menyebut dengan kata-kata ‘maktuubun fiihi’ (tertulis di dalamnya) kalimat Tauhid sebagai hadis yang tidak dhaif tapi juga tidak sampai pada derajat shahih. Setidaknya, menurut ulama, berada pada derajat hasan.
Jadi, ada dalil yang bisa menjadi rujukan bahwa pada Royah dan Liwa terdapat tulisan yang berisikan kalimat Tauhid. Dan itu, sama sekali, bukan produk dan simbol HTI, melainkan simbol umat Islam seluruhnya.
Lepas dari ikhtilaf ulama tentang keberadaan Kalimat Tauhid dalam Royah dan Liwa ini, apa yang ada dalam bendera tersebut adalah benar-benar Kalimat Tauhid. Sebuah kalimat yang menjadi dasar, ruh, dan identitas umat Islam, dunia dan akhirat.
Sehingga sejatinya, bendera ini patut diposisikan sebagai sesuatu yang pantas. Karena di dalamnya terdapat kalimat asma Allah swt. dan nama Rasulullah saw., yang menjadi dasar keyakinan umat Islam.
Perumpamaannya mungkin seperti bus Metro Mini. Kalau kita gak suka dengan sopirnya yang ugal-ugalan, sepertinya tidak pas kalau yang dibakar busnya. Kemarahan ataupun kebencian semestinya disalurkan dengan cara yang adil dan bijaksana.
Di semua pihak, dan di semua keadaan, Allah swt. berfirman, “Janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum membuatmu tidak mampu berlaku adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.” (QS. Al-Maidah)
Di sisi yang lain, memuliakan bendera Tauhid juga tidak sepantasnya melupakan esensi arti kata Tauhid yang di dalamnya. Karena dari akar kata tersebut ada kata ‘wihdah’ yang bermakna persatuan.
Dengan kata lain, Kalimat Tauhid selain menjadi pengokohan akidah umat Islam, juga menjadi pemersatu umat, walaupun berbeda negara, suku, apalagi ormas.
Allah swt.berfirman, “Innamal mukminuuna ikhwah.” Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu (yang bertauhid itu) bersaudara.
Sebagai sebuah saudara, meminta maaf dan saling memaafkan merupakan sebuah kepatutan.
Meminta maaf memang sesuatu yang berat, karena di situ terdapat sebuah pengakuan kesalahan dan penihilan ego manusia yang selalu merasa benar.
Namun, jauh lebih berat lagi dari meminta maaf adalah yang memaafkan. Karena dalam sikap itu terdapat pengorbanan, demi sesuatu yang lebih besar yaitu persatuan dan persaudaraan. Wallahu a’lam bishawab. (muhammad nuh)