KHUSYUK itu tunduk kepada Allah. Bukan hanya pandangan dan pikiran, tapi juga hati.
Ada pelajaran berharga dari sebuah penggalan kisah Imam Ghazali rahimahullah. Kisah ini bisa dibilang sebagai titik awal ulama kelahiran 1058 masehi ini menekuni dunia tasawuf.
Di kampung Imam Ghazali muda tinggal, yaitu di wilayah Thus, Khurasan, Iran saat ini; ia sudah dipercaya masyarakat sebagai imam shalat jamaah. Ada sebuah masjid yang memang tak jauh dari rumahnya.
Di usia itu, Imam Ghazali memang sedang gandrung dengan ilmu fikih. Kadang kerumitan ilmu fikih ‘terbayang-bayang’ dalam suasana shalat. Tapi, hal itu tidak membuatnya lupa rakaat atau lupa bacaan shalat. Normal-normal saja.
Kegaduhan dalam diri Imam Ghazali mulai terasa ketika adiknya, Ahmad, bertingkah aneh saat ia menjadi imam shalat. Sang adik, tidak ikut shalat jamaah di masjid. Kalau pun ‘dipaksa’ oleh ibunya untuk ke masjid, ia shalat sendirian. Tidak ikut berjamaah. Padahal, yang menjadi imam adalah kakaknya sendiri.
Imam Ghazali menanyakan keanehan itu kepada adiknya. “Kenapa kamu tidak mau menjadi makmum ketika aku menjadi imam?” seperti itu kira-kira pertanyaan Imam Ghazali kepada Ahmad.
Ahmad menjawab enteng, “Aku tidak mau bermakmum dengan imam yang bajunya berlumuran darah.”
Imam Ghazali terkejut. Ia memeriksa baju yang ia kenakan untuk shalat berjamaah. Rasanya, bersih dan tidak ada satu titik noda darah pun.
Tapi, ada satu kesadaran Imam Ghazali yang ia rasakan hampir tidak mungkin. Yaitu, ia mengakui bahwa saat menjadi imam, ia masih kepikiran kerumitan ilmu fikih. Dan hal itu memang berkaitan dengan tema darah haid wanita.
Saat itulah Imam Ghazali tersadar, bahwa adiknya itu bukan orang sembarangan. Bagaimana mungkin ia bisa tahu apa yang ada dalam pikiran kakaknya saat menjadi imam.
Dari adiknya itulah, ulama yang wafat di usia 53 tahun itu bertemu dengan ulama-ulama Tasawuf. Ia pun menekuni ilmu tasawuf. Ia ingin ibadahnya menjadi sempurna.
**
Betapa banyak di antara kita yang bukan hanya tidak khusyuk dalam shalat, bahkan meletakkan shalat di waktu-waktu sisa. Di waktu-waktu di mana kesibukan materi sudah tidak ada lagi. Nah, saat itulah shalat baru dilakukan.
Bahkan bukan hanya waktunya saja yang sisa. Nilai shalatnya pun sekadarnya saja. Sekadar ‘menggugurkan’ kewajiban.
Sejatinya di saat shalat, kita sedang berhadapan dengan Penguasa alam raya. Betapa lacurnya kita, di saat shalat hanya fisiknya saja yang tampak shalat. Tapi, hatinya ‘berlarian’ kesana-kemari.
Yuk, belajar khusyuk saat shalat. Utamakan shalat di awal waktu. Siapkan diri bahkan menjelang azan berkumandang. Kosongkan kesibukan duniawi untuk sementara, demi mendirikan shalat yang tak lebih dari lima belas menit itu. [Mh]