AIR itu tak berwarna. Tak juga punya rasa. Ia bening dan tawar.
Tak berwarnanya pun menjadikan air bermanfaat banyak. Ketika diseduh bersama teh, air menyuguhkan rasa khas teh yang segar, dengan atau tanpa gula.
Ketika diseduh bersama kopi, air berubah lagi: warna, aroma, dan rasanya. Para penikmat kopi tak lagi ingat bahwa saham terbesar dari yang ia nikmati itu adalah air.
Begitu pun ketika air dicampur sirop, es batu, sari buah, dan diaduk merata. Rasanya begitu menggoda, terlebih di kala terik yang ‘membakar’.
Saat itu, air tak lagi disebut-sebut. Tak seorang pun yang bilang, “Ah, segarnya air dicampur sirop dan es ini.” Yang biasa orang sebut adalah, “Ah, segarnya es sirop buah ini.”
Air tak lagi disebut-sebut untuk sekian kalinya. Padahal, sebagian besar unsur dari minuman segar itu adalah air.
Lain halnya ketika air dimasak bersama sayur mayur, bumbu, daging, dan lainnya. Orang pun menyebutnya sebagai kuah: kuah sayur. Tak seorang pun yang akan menyebut air, meski awalnya memang air.
Masih banyak lagi olahan makanan dan minuman yang menjadikan air sebagai pemeran utama. Tapi ujungnya tetap sama: sama-sama tidak menyebut ‘air’.
Satu pelajaran yang bisa dipetik dari sosok air. Meski ia berperan besar di suatu tempat, air ridha dan ikhlas tak lagi disebut-sebut siapa pun.
Cobalah belajar ikhlas dari air. Karena ikhlas merupakan nilai utama dari amal kita di sisi Allah subhanahu wata’ala. [Mh]